Nangor Trip

Jum’at (21/12/2012) saya berkesempatan kembali menginjakkan kaki ini di bumi Jatinangor, sebuah daerah di sebelah Timur Bandung yang menjadi penengah antara Cileunyi dan Tanjungsari Sumedang. Mumpung ke Jatinangor, saya sempatkan pula untuk singgah ke sebuah wilayah di sekitaran sana, tepatnya Cibeusi. Sekalian numpang shalat Jum’at, sekalian mampir ke tempat tinggal teman. Tak ketinggalan, tentunya sekalian cari tempat untuk makan siang. Berhubung rumahnya tutup, saya tak jadi bertemu dengan teman yang tinggalnya hanya beberapa meter dari masjid tempat saya Jum’atan.

Cari makan? Ada beberapa tempat yang biasanya jadi langganan saya. Bila sedang ogah cari makanan ke tempat yang jauh, saya lebih memilih yang dekat. Sepertinya keadaan agak berubah, salah satu tempat langganan saya tutup. Lapak nasi bungkus yang letaknya 10 meter sebelah Timur pasar Cibeusi ternyata sudah tak ada. Entah ke mana, tak ada kabar. Makan di mana ya?

Mungkin sudah taqdirnya demikian. Sepertinya tak ada pilihan selain memilih Warung Nasi langganan. Tak apalah agak jauh, toh masih di Cibeusi. Lagipula, memang begitulah adanya. Tak begitu banyak warteg atau warnas di daerah Cibeusi. Berbeda jauh dengan Jatinangor seputaran kampus Unpad. Maka selepas shalat Jum’at itu pun, meski cukup terik saya berjalan saja menuju warnas langganan itu.

Ya, benar. Langganan. Karena di Jatinangor hanya warnas ini yang lain, menyediakan menu yang berbeda dengan kebanyakan warnas yang pernah saya temui. Ada cita rasa yang lain di sini, dan sepertinya itulah yang membuat saya betah kemudian menjadikannya tempat makan langganan di Nangor. Saya menyebutnya Warnas Cibeusi. “Cibeusi” diambil dari letaknya. Sedangkan istilah “Warnas” menunjukkan kalau itu adalah tempat makan khas Sunda. Sebab istilah “Warteg” biasanya digunakan oleh wong Jowo yang membangun warung makan. Kalau tak percaya, silahkan cek ke TKP. Singgahi warteg dan warnas mana saja.

Warnas Cibeusi menawarkan cita rasa khas kampung ala Bumi Parahyangan, pilihan menu yang bahkan sudah jarang ditemui di warung nasi manapun di Nangor dan Bandung. Hal itu terlihat dari pilihan deungeun (lauk-pauk) yang dipajang di etalase. Setidaknya ada 3 yang lain: semur jengkol, ampas kecap, dan ulukutek leunca. Mungkin ulukutek leunca masih agak mudah dijumpai, tapi semur jengkol dan ampas kecap sulit ditemukan. Tentunya 3 pilihan itu pula yang tanpa pikir panjang saya serobot untuk menemani sepiring nasi yang diambil dari boboko (sebuah tempat menyimpan nasi, terbuat dari rajutan bambu). Perlu diingat, hanya satu warung makan yang menyediakan semur jengkol di Jatinangor. Yaitu di Cibeusi. Bisa saja di yang lain ada, tapi jarang bikin semur jengkol.



Ah, sudah lama saya merindukan makanan yang seperti ini. Makanan yang membuat saya merasa ada di puncak kualitas hidup. Bagaimana tidak, sudah lama saya mencari tempat makan dengan cita rasa tradisional khas kampung yang menenangkan. Dan warung makan ini menyediakannya. Tempat nasi yang masih pakai boboko dan segelas teh tawar panas setidaknya sudah cukup untuk memberikan kesan ala lembur itu. Meski Jatinagor sudah bernafaskan aroma gaya hidup perkotaan, ternyata masih ada yang bercita rasa kampung seperti di warnas ini. Setelah menghabiskan makanan yang ditutup dengan dua gelas teh tawar hangat, saya pun membayar.

“Sabarahaeun, Teh?”
“Sareng naon wae, Aa?”
“Ieu, Teh. Semur jengkol, ampas kecap, sareng ulukutek leunca.”
“Oh, janten genep rebueun.”



Sangat puas untuk makan siang kali ini. Perjalanan pun saya lanjutkan dengan wajah berseri. Raos pisan, tur mirah! Siang panas begini enaknya apa ya? Rupanya di dekat Jatos saya dipertemukan dengan tukang es cendol. Alhamdulillah, tampaknya dahaga saya akan terpuaskan di siang ini. Tunda dulu! Saya dahulukan untuk ke 21 Jatos membeli tiket nonton “Habibie & Ainun”. Setelah mengamankan kursi di posisi yang strategis, barulah saya mampir ke tukang es cendol tadi. Segelas 3000 rupiah. Dingin dingin segar! Ieu nu ngarana hirup teh! Kenikmatan dunia. Kenikmatan hidup tiada tara: semur jengkol, leunca, ampas kecap, ci enteh haneut, es cendol, dan nonton layar tancep. Bila ada hal lain yang bisa membuat suasana jadi lebih sempurna, mungkin itu adalah tembang semisal Surat Cinta dari Vina Panduwinata yang diputar di radio saat makan di warnas. 



Surat cintaku yang pertama,
membikin hatiku berlomba.
Seperti melodi yang indah,
kata-kata cintanya.


“Dan nikmat-Ku yang manakah yang engkau dustakan?” Saya memang mesti lebih pandai bersyukur. Enak dan nikmat bukan berarti mahal. Kualitas hidup tak dapat dibeli oleh uang. Beruntung yang Maha Kuasa berkenan melimpahkan setitik kenikmatan hidup pada saya. Semoga saja suatu saat nanti saya menemukan karunia-Nya yang lain di bumi-Nya ini.

Bandung, 22/12/2012


0 comments:

Post a Comment