Kenapa Saya Gak Pernah Mencalonkan Diri Jadi Ketua?

"Tuh, si Adit yang nggak pernah mau jadi ketua mah!" Tak sengaja saya mendengar ada seorang teman yang mengatakan demikian. Bisa dimaklum lah mengapa dia berkomentar begitu, itu karena saat masih aktif kuliah saya tak pernah mencalonkan diri dan menolak saat pernah ditawari jabatan struktural. Saya yang mendengarnya pun lebih memilih untuk sekedar senyum tanpa mengatakan apa-apa. Dia memang benar, saya memang tak pernah mau mencalonkan diri untuk menjadi ketua, dan untuk beberapa situasi saya memang memilih untuk menolak dicalonkan. Lagipula, orang-orang di dekat kami tak membutuhkan jawaban ataupun penjelasan dari saya mengenai alasannya. Memangnya penting untuk langsung dijawab? bahasa tubuh mereka tak mengisyaratkan keinginan untuk tahu alasannya, dan yang pasti mereka tak mempertanyakan "..kenapa?"

Ah, seandainya mereka menanyakan, saya takkan sungkan tuk menyampaikan alasannya. Namun setelah beberapa lama, jadi terpikir untuk menuliskannya saja karena beberapa teman dekat akan mencari tahu kenapa.Saya punya alasan kenapa tak mau mencalonkan diri menjadi ketua, begitu juga saat menolak. Berikut ini beberapa alasannya.

1) Prinsip
Siapapun orang yang jadi ketua, salah satu imbasnya adalah jadi terkenal dan terpandang. Terkenal karena posisinya membuat dia dikenal banyak orang, dan terpandang karena perannya membuat dia tampak menonjol dibanding yang lainnya. Sedangkan saya sendiri tak menyukai popularitas. Saya lebih senang dipandang sebagai orang biasa ketimbang ditatap sebagai orang hebat. Selebihnya, saya juga tak mau diterima orang karena embel-embel ketua (atau mantan ketua).

2) Meringankan Hidup
Bagi saya menjadi pemimpin adalah persoalan menjalankan amanat dari rakyat, dan itu pasti hal yang merepotkan juga menguras pikiran, perasaan, tenaga, waktu, dan dana. Sebagai seorang manusia, saya juga ingin hidup enak dan ringan. Bila sudah mendapatkan amanah, saya tak mau membebani hidup dengan menambah-nambah amanah lagi.

3) Tidak Menyanggupi
Saya suka menolak tawaran jabatan/posisi karena memang merasa tak menyanggupi. Bukan pesimis dengan kemampuan, karena bagi saya kemampuan bisa dikembangkan. Namun karena sudah terlanjur menerima amanat dari pihak lain, dan saya ingin amanat yang sudah saya terima itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya.

4) Ketidakadilan
Dulu saat di kampus pernah kejadian. Orang mengatakan saya pengurus rohis, padahal saya tukang roti. Dikatakan sebagai contoh baik, padahal kerjaan saya di kelas adalah ngegambar. Ditawari untuk jadi kadep di BEM Fakultas, padahal aktif di Himpunan selama 1 periode penuh pun tak pernah. Demikian halnya saat dicalonkan menjadi ketua IKA, saya menolak karena dulu selama kuliah tak pernah menjadi ketua. Pilih yang dulunya udah pernah jadi ketua di kampus atuh!

5) Bukan Bidangnya
Saya masih berpikir bahwa segala sesuatu sebaiknya ditangani oleh ahlinya. Mirip dengan masalah ketidakadilan tadi. Saya menolak karena (setelah dipertimbangkan) tawaran memang bukan bidangnya saya, artinya ada orang lain yang lebih tepat untuk tawaran itu. Seperti (deudeuieun) menolak tawaran jadi ketua IKA. Bagaimanapun juga, lingkungan Jur Psikologi tak sama dengan Kompek Saibi dan Salman. Setiap lingkungan punya karakter sendiri. Siapapun yang pernah merasakan jabatan struktural, dia mau tak mau akan belajar untuk mengendalikan situasi di lingkungan tempatnya merasakan jabatan struktural itu. Jadi, kalian yang sudah pernah (setidaknya) jadi kadep di Jurusan, setidaknya akan lebih ahli untuk memimpin di lingkungan Jurusan. Mereka yang pernah jadi ketua atau kadep di Himpunan/BEM punya nilai plus untuk dipilih jadi pengurus IKA.

6) Ketidakpercayaan
"Nggak.. Nggak! Dia senengnya cherrybelle." Saya sudah jujur bilang bahwa saya nggak suka cherrybelle, tapi JKT48. Tetap saja dia begitu. Serius atau sekedar bercanda, yang saya camkan adalah bahwa kejadian ini spontan. Terjadi begitu saja, apa adanya, tanpa ada rekayasa. Tak baik bila seseorang dipilih menjadi pemimpin, sementara rakyatnya sendiri tak mempercayainya. Jadi, bila ada rakyat yang tak percaya pada saya, ya sebaiknya saya tolak saja tawaran memimpin. Situasi yang semakin menguatkan saya untuk menolak tawaran jadi ketua IKA. Hehehehe...

7) Proses Sosial
Boleh percaya atau tidak, silahkan. Tergantung Anda. Yang jelas, orang yang dipercaya, dihormati, didengar, diikuti, dan dihargai akan memberikan pengaruh pada lingkungannya. Tanpa ada embel apa-apa sekalipun, secara alamiah dialah pemimpinnya. Bila sebagai 'the person' saja omongannya diabaikan, keberadaannya tidak dihargai, arahannya tidak diikuti, he/she is not the leader. Di lingkungan tertentu saya bukanlah pemimpin, lalu pada sebagian lingkungan saya bukanlah siapa-siapa. Serendah dan segembel apapun saya berada, saya tak mau mengincar jabatan pemimpin.

8) Tak Suka yang Simbolis
Untuk beberapa kasus, posisi tertentu adalah simbolis. Seperti sebuah jabatan yang terkadang sebenarnya berperan untuk pencitraan, alias saukur pasang beungeut. Kalau yang begini, udah terlalu jelas saya tak suka. Bila di sebuah kantor ada OB yang kerjaannya dijelek-jelekin oleh Presiden Direktur, saya mau jadi OB tersebut asalkan penghasilannya (berarti gapok udah plus tunjangan, bonus, dll.) lebih besar dari si Presdir. Seperti halnya di Baitul Hikmah, saya lebih memilih jadi PJ Program (ketimbang jadi ketua organisasi) karena akan lebih memungkinkan bagi saya untuk lebih kontributif.


Sepertinya dicukupkan sekian. Apapun amanah yang ditawarkan, saya tak akan menolak bila setelah dipertimbangkan cukup adil dan sanggup saya penuhi. Tentunya saya hanya berusaha, hasilnya Allah yang menentukan.

29 Rabi'ul Awal 1434 

0 comments:

Post a Comment