Rahmat dari Seorang Rahmat

Pemuda yang satu itu biasa dipanggil Kang Rahmat. Saya sendiri mengenalnya dengan nama Rahmat Hidayat. Kami ditakdirkan satu tahun belajar di kelas yang sama pada sebuah SMP negeri di tengah Kota Bandung tahun 1998. Sebagaimana siswa lain yang sedang menjalankan masa orientasi sekolah, tidak ada pikiran lain selain berkenalan dengan teman-teman baru dan seputar tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh semua peserta MOS (Masa Orientasi Sekolah). Keberadaan kami sebagai siswa di kelas yang sama (kelas 1-A) mengukuhkan bahwa kami berteman. Pasti berteman, dan harus berteman.
Sekolah yang baru, lingkungan yang baru, teman-teman yang baru. Itu kesan yang saya dapat saat baru menjalani hari-hari sebagai siswa SMP. Suasana di SMP negeri yang letaknya di tengah kota tentu saja berbeda dengan suasana sekolah di pinggir kota. Perbedaan tersebut memang tidak begitu terasa saat berada di kelas. Hal itu bisa dimengerti karena semua siswa melakukan aktivitas yang serupa dengan seragam yang sama. Namun saat waktunya pulang sekolah, kesan berbeda mulai menguat. Ada siswa yang pulangnya dijemput pakai mobil, dijemput pakai motor, naik angkot, naik sepeda, bahkan berjalan kaki.

Dari sejumlah siswa yang menempuh perjalanan pulang-pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Rahmat adalah salah satunya. Rasa-rasanya, saya tak perlu memberitahukan seperti apa latar belakang ekonomi keluarganya. Karena pilihan untuk menempuh perjalanan sekolah-rumah dengan berjalan kaki itu sudah cukup untuk menjelaskan. Lagipula, jarak dari Jalan Pasteur ke Jalan Semar adalah jarak yang cukup dimengerti untuk ditempuh melalui perjalanan kaki. Jauhnya sekitar 2 km. Itulah sebabnya saat baru datang ke sekolah, dia tampak agak keletihan dan berkeringat seperti baru berolahraga. Terlebih lagi kelas 1 jadwal belajarnya siang, mulai jam setengah 1. Bisakah dibayangkan bagaimana rasanya siang hari berjalan kaki dari rumah ke sekolah?

Seperti apapun ruas jalan yang ditempuh dalam perjalanannya, yang jelas jam 12 tepat Rahmat harus sudah berada di sekolah. Perjalanan dari rumahnya ke sekolah ditempuh dengan waktu setengah jam berjalan kaki. Jadi bila Rahmat shalat Zhuhur di rumah lalu berangkat, bisa dipastikan dia akan terlambat masuk.

Satu hal yang membuat saya bisa dekat dengannya adalah kebiasaan yang biasa kami lakukan bersama-sama, yaitu berangkat bareng ke mushala sekolah. Baik saat siang baru datang, maupun saat baru istirahat. Terang saja kami begitu, itu karena kami mengirit duit. Mushala selalu menjadi pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu istirahat sambil mengirit duit, terutama bagi kami yang lagi menabung dan tongpes. Bukan merendah, tapi saya harus mengakui bahwa SMP kami bukanlah sekolah borju tempat para bangwasan belajar.

Sekalipun begitu, bukan berarti Rahmat menjadi anak yang minder atau menarik diri dari pergaulan di sekolah. Rahmat tetap bergaul seperti biasanya anak-anak bergaul, dia berteman secara wajar. Namun mengenalnya secara dekat membuat saya melihat sebuah sisi yang -bagi saya pribadi- mengesankan dari sosoknya yang luput dari perhatian orang banyak.

Setiap hari Rahmat menempuh jarak 2 km berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, tapi wajahnya selalu cerah dengan menampilkan senyum dan sapaan hangat. Seringkali Rahmat datang ke sekolah dengan seragam yang sudah berwarna keruh, tapi kami teman-temannya tak pernah sekalipun mendengar dia mengeluh. Dan yang paling membuatnya berkesan adalah tutur katanya yang selalu lembut dan halus, padahal kebanyakan siswa di sekolahnya terbiasa berkata kasar.

“Adit, tos natepan? Hayu atuh, urang sareng ka mushala.” (Bahasa Sunda: Adit, sudah shalat? Ayo, kita bareng ke mushala). Saat jam istirahat, seringkali saya mendengar itu dari Rahmat. Dalam Bahasa Sunda, itu adalah bentuk halus dari sebuah ungkapan. Dalam hal ini, Rahmat adalah seorang yang istiqamah dengan kesantunannya dalam bertutur kata. Juga perlu diingat, Rahmat selalu demikian di tengah lingkungan sekolah kami yang punya nuansa premanisme dan borjuisme.

Sesuatu yang biasa dilakukannya pada orang lain sebenarnya cukup sederhana, yaitu sekedar bertutur dengan menggunakan bahasa yang santun dan halus. Namun di situlah letak kebaikannya. Rahmat seolah menjadi pelipur yang memberikan kesan tenang di tengah lingkungan yang familiar dengan bahasa kasar dan hewani. Bila bertemu dengannya, selalu saja ada rasa malu pada diri sendiri, melamunkan pertanyaan “Kenapa ya saya tak bisa sebaik itu?” Padahal yang Rahmat lakukan sungguh sederhana, dan bukankah kebaikan itu sebenarnya adalah hal yang sederhana?



Jangan pernah berpikir bahwa Rahmat melakukannya supaya disukai banyak orang. Karena saya tahu betul orang semacam Rahmat bukanlah tipikal figur yang digandrungi banyak orang. Rahmat adalah sosok yang jauh dari kesan tajir, mengartis, prestatif, atau menonjol di organisasi. Bahkan selama saya mengenalnya, Rahmat belum pernah sekalipun merepotkan atau meminta pada kami temannya. “Tos ah, teu kedah. Bilih nyesahkeun” (Sudah ah, tak usah. Khawatir menyusahkan), begitulah alasan yang selalu saya dengar. Untuk sekedar meminta bantuan, Rahmat sudah sebegitu sungkannya. Padahal dia tak pernah sungkan untuk menolong teman-temannya.

Tahun 2001, kami berpisah selepas kelulusan SMP. Semenjak itu, saya tak pernah bertemu lagi dengannya. Bahkan selama 3 tahun SMA dan beberapa tahun kuliah, saya tak pernah mendengar kabar tentangnya.

***

Terkadang, kesederhanaan berarti melakukan sesuatu tanpa dibuat-buat. Sesuatu dilakukan karena memang begitulah orangnya. Rahmat bersikap santun dan tak sungkan menolong, karena memang begitulah orangnya.

“Eh, Kamu SMA-nya di sana kan ya?”
“Iya.”
“Kenal dengan Rahmat?” tanya saya.
“Rahmat yang mana?”
“Rahmat Hidayat, yang kalau ngomong suka pakai Basa Sunda lemes.”
“Oh, yang itu... Iya, tahu.”

Saya bertemu dengan seorang teman sekolahnya Rahmat saat SMA, dan diperlihatkan buklet angkatannya. Saya menemukan fotonya di dokumentasi suatu kelas, namun tak melihatnya di dokumentasi ekskul. Ah, apa Rahmat tak aktif di ekskul saat SMA ya?

“Rahmat itu orangnya lempeng-lempeng aja. Ihdina shirathal mustaqim pisan lah! Bahasa Sundanya paling lemes dan sopan. Mau kayak gimanapun keadaannya, dia tetep tenang. Makanya orang-orang di kelas pada nyebut dia Rahmat Ustadz.” Begitu katanya. Seperti biasa, Kang Rahmat tak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Pertengahan 2010 terdengar kabar bahwa Rahmat menjadi seorang pengajar tahsin di daerah Parongpong Kabupaten Bandung, dan istrinya tengah mengandung ‘calon ustadz’ muda. Semoga Allah memberkahi keluarganya.


 

Ah, dia masih Rahmat yang dulu. Sosok yang baik dan tulus berbalut kesederhanaan, yang kebaikannya selalu membuat saya malu bila lalai beribadah. Tiga tahun mengenal Rahmat, darinya saya menyaksikan bahwa kesantunan bisa menunjukkan jalan yang lurus tanpa ceramah secara panjang lebar. Sesuai dengan namanya, rahmat menunjukan jalan hidayah. Begitulah Rahmat, lelaki penebar rahmat.

Semoga rahmat-Nya selalu menyertai Kang Rahmat.

8 Sya’ban 1434

0 comments:

Post a Comment