"Yooow.. naon euy?"
"Sini lah! Aku mau curhat, ih."
"Beuli tuh di warung! Teu dagang curhat urang mah."
Sebagai seorang teman yang sudah kenal dekat, rasanya curhat-mencurhati atau saling bertukar cerita adalah hal yang lumrah. Entah itu ketika ada suatu kejadian 'besar', atau karena sekedar ada kesempatan untuk berjumpa. Sejauh ini, biasanya karena kedua hal itu.
"Isukan aya acara teu euy?"
"Euweuh."
"Urang ka imah maneh nya."
"Sok we, urang teu ka mamana da."
Tanpa perlu basa-basi, janjian, bertemu, lalu ceritakan semuanya. Begitulah umumnya alur cerita, dan hampir selalu begitu. Segala cerita bisa tercurah setelah berjumpa, dan yang tidak kalah penting adalah: jujur.
Berbicara tentang sisi tak mengenakkannya, sebenarnya ada. Menghabiskan banyak waktu untuk mendengarkan mereka, kadang mentraktir, bahkan kadang merelakan kasur di kamar jadi acak-acakan karena dipakai tidur-tiduran oleh teman (padahal baru dibereskan).
Tetapi begitulah mereka yang dekat. Ada yang pernah tidur-tiduran di kasur, menghabiskan cemilan di toples, numpang ngeprint sampai persediaan kertas habis. Ada juga yang lelap tertidur di jok sebelah saat saya sedang menyetir, padahal kami sedang ngobrol. Beuh...
Mereka tak sungkan untuk tampil menjadi dirinya sendiri, dan menunjukkan sisi yang asli dari dirinya. Bagi saya pribadi, ini bagian yang membuat saya merasa berharga bagi mereka.
Sepertinya itu pula yang dirasakan oleh salah seorang teman dekat saya. Saat kami jalan dari Rumah Buku untuk mencari makan, teman saya itu uring-uringan karena salah satu member komplotan kami tidak menceritakan kisah tragis perjalanan cintanya.
"Si eta nyarita ka maneh?"
"Heu euh."
"Terus kumaha caritana?"
"Intina maneh nyaho, break. Tapi jalan caritana urang teu bisa ngabejaan euy, request ti manehna."
"Njir, si eta kitu euy ka urang. Jadi aing teh dianggap naon ieu teh?"
"Hampura we nya! Urang teu bisa nyarita."
"Nya geus lah, meureun si eta can siap jang nyarita. Tapi angger, jadi aing teh naon?"
Kami suka ngopi bareng (pict from here) |
Teman saya itu datang jauh-jauh pulang dari Jakarta, salah satunya adalah ingin bisa bersama dan saling berbagi cerita. Tetapi ada sebuah bagian yang kurang berkenan di hatinya, yaitu ketidak terus-terangan karena perasaan belum siap untuk berterus terang, seolah-olah ada penghalang yang membuat sungkan, kagok, atau takut untuk bertutur tentang sisi personal dari hidupnya. Dia merasa tidak dianggap sebagai sahabat karena ketidak terus-terangan itu.
"Lain masalah maneh disebut naon, tapi dianya gimana aja ke kita." Begitu katanya.
17 Muharram 1435
Jadi cowok juga ada naluri kepo, ya? hahahaha.... kirain abai soal beginian :D
ReplyDeleteAda donks.. Bahkan di balik tampang dingin sekalipun, diam2 ingin tahu kabar. :)
ReplyDeleteHahahaa... catet ah. Lumayan buat ide nulis :P
ReplyDeleteSilahken.. semoga bermangpaat. :)
ReplyDelete