Untuk Kalian Juga

Selepas shalat maghrib, seorang kawan mengajak makan bersama. Saya mengiyakan saja, karena toh memang belum makan. Beberapa kawan yang lain pun sepertinya belum makan. Mau makan di mana? Biasanya yang menentukan adalah yang mengajak. "Di lapak seafood yang di sono aja yuk!" Katanya sambil menunjuk ke sebuah arah. Saya mengiyakan, sedangkan beberapa kawan yang lain ngikut-ngikut saja. Akhirnya, kami berdelapan jalan kaki menuju tempat yang dimaksud.

Kalau diingat-ingat, kiranya sudah lama saya tidak makan bersama kawan, banyakan begini. Terutama momen makan-makan yang lebih dari 5 orang. Ingat tentang makan bersama kawan, teringat juga tentang kebiasaan kami (saya dan teman dekat) saat memilih menu makanan, terutama di tempat makan yang masih agak asing pilihan menunya.

Sebelum makan, biasanya kami suka merencanakan pemesanan menu. Semua pesan nasi, selebihnya berbeda. Entah itu lauk-pauknya, minuman, atau menu penutup, sebisa mungkin berbeda, supaya pada akhirnya kami bisa saling mencicipi. "Urang mesen nu ieu, Maneh pesen nu lain! Engke urang ngasaan nu maneh." Maksudnya: saya pesen yang ini, Kamu pesen yang lain! Nanti saya nyicip pesenan Kamu.

Saya sendiri tidak ingat kapan awalnya punya ide semacam ini. Mungkin sejak SMP, dan kami melakukannya gara-gara lagi bokek, tetapi ingin makan agak mewah dengan lauk-pauk yang beragam.

Pemesanan makanan berjalan sesuai rencana. Nasi ditempatkan di hadapan masing-masing, sedangkan lauk-pauk sengaja ditempatkan di tengah meja supaya bisa saling mencicipi. Saya memesan karedok, sedangkan yang lain ada yang memesan terong bakar, tumis kangkung, cumi balado, remis, semur jengkol. Pesanan saya (karedok) akhirnya dinikmati bersama, sebagaimana pesanan yang lain pun kami nikmati bersama.

Menyedihkan? Awalnya iya, bisa dibilang menyedihkan. Tetapi rupanya kebiasaan itu kami bawa hingga saat ini sudah bekerja. Pesan lauk-pauknya untuk bersama. Kiranya saya memesan lotek, loteknya untuk kami nikmati bersama. Jadi, lotek yang saya pesan adalah untuk teman juga. Begitu pula makanan yang masing-masing mereka pesan. Setidaknya, setelah pesan biasa bilang: "Eh, ada yang mau ini?" Sambil menyodorkan sepiring lauk-pauk.

Prinsip yang sama rupanya berlaku dalam situasi lain. Dulu saat mengerjakan tugas -kuliah- kelompok bersama-sama, ada saja teman yang membawa makanan untuk dinikmati bersama-sama. Lagi-lagi, masing-masing kami sadar diri. Kalau ada seorang yang membawa lauk-pauk, saya beserta kawan-kawan yang lain -harus tahu diri- beli kerupuk satu bungkus, kopi beberapa sachet, atau apapun itu, yang jelas bisa memberi sesuatu yang dapat dinikmati bersama-sama.

Bersama teman, di sebuah warung, di Jalan Dago.

Ini hanya sebuah kebiasaan, sekedar suatu cara menjalani hidup. Yang meski kami biasa melakukannya, orang lain belum tentu bisa menerima.

26 Rabiul Tsani 1435

6 comments:

  1. haha sama aja ya ka, saya pun begitu. Bahkan yang nggak punya uang pun bisa ikut makan. Kalau saya sama temen patungan tuh 3.000, eh dapat sayur, telor, kerupuk, nasi dll.

    Dimakan sama yang patungan, juga sama teman yang kelihatan laper dan lagi bokek hhe, eh pernah juga pas bokek saya masih bisa ikut makan.

    Dengan 3 ribu bisa kenyang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayak yg dibilang pepatah: "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing." :)

      Delete
  2. Oh iya ka, tulisannya agak digelapin kak. Supaya semakin jelas buat bacanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, nggak bisa nih. udah bawaan dari templatenya. templatenya emang nggak bisa dimodif.

      Delete
  3. widiw, kamuh lagih kangen mamam sama akuh ya...ituh poto akuh di @warungngebul taun lalu.. kaditu deui yuk... Hayu!!!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. sok atuh, kapan anda balik ke bandung?
      sekalian bawa your mate. mau double/triple date juga boleh lah. si ableh beritai.
      *padahal mah, emang nggak ada lagi foto aja*

      Delete