Lilin-Lilin Nurani

Awan sudah tampak gelap, diiringi angin yang menyapu jalan Cijerah. Daun daun yang berserakan pun beterbangan beserta debu-debu dari celah selokan. Beberapa pejalan sampai diam sesaat karena memejamkan matanya agar debu tidak mengotori mata. Ada pula yang menutup hidungnya demi melindungi pernafasan dari udara kotor yang mungkin tak akan tersaring rambut hidung.

Tidak lama kemudian, angin berlalu diiringi suara guntur disertai rintik-rintik yang semakin deras. Siapapun orang yang waras dan cukup usia akan mengerti bahwa itu pertanda akan hujan deras. Orang-orang di sekitar Jalan Cijerah semakin mempercepat jalannya, ada pula yang berlari. Motor-motor yang menyusuri jalan tampak menambah kecepatannya, begitu pula dengan andong-andong, sang kusir memecut kudanya agar berlari. Tujuannya satu, agar lebih cepat sampai tujuan dan bisa berteduh, atau setidaknya terhindar dari nasib basah kuyup.

Saya yang di dalam sebuah gedung apotek, masih terdiam duduk di kursi tunggu sambil menatap ke arah jalan. Hanya dalam hitungan detik, bunyi hentakkan-hentakkan air sudah terdengar jelas. Cipratan demi cipratan air tampak menempel di kaca depan yang menjadi pemisah antara pengunjung apotek dan area parkir. Di sini, di dalam gedung, di balik kaca, saya dan para pengunjung apotek terlindungi dari hujan.

Salah satu wajah jalanan di kota besar saat hujan adalah selokan yang sudah tidak sanggup lagi menampung aliran air, dan akhirnya samping jalan sudah seperti banjir kecil yang menghanyutkan sampah-sampah. Dan mungkin ada kotoran yang terbawa hanyut, seperti kotoran kuda yang tercecer di jalan. Kiranya itu yang membuat orang-orang menghindari genangan atau banjir kecil itu, dan memilih untuk meminggir ke tempat terjangkau yang jauh dari aliran banjir kecil.

Saat hujan tengah derasnya, jalan pun menjadi jauh lebih sepi, hanya dilewati beberapa mobil pribadi dan angkot. Jalan seolah-olah tidak dibuat untuk motor. Kira-kira, dalam tiga menit hanya terlihat dua atau tiga mobil yang lewat. Dapat dibayangkan, apabila urusan di apotek ini sudah selesai, dan di luar gedung masih hujan, saya pasti akan agak kesulitan mencegat angkot karena supirnya akan kesulitan melihat saya yang berteduh di gedung. Maklum, supir sewajarnya memang hanya melirik sekitar trotoar karena pandangannya harus diarahkan ke jalan dan lalu-lintas.

Benarlah demikian adanya. Setelah parasetamol (penurun panas) dikantongi, saya masih menunggu hujan agak reda. Sebuah kursi di samping kaca depan menjadi tempat yang saya pilih untuk duduk. Di kursi bagian itu, setidaknya saya bisa melihat pemandangan di luar.

Beberapa saat kemudian, sebuah angkot berhenti tepat di seberang apotek. Saya pikir supirnya lumayan sakti bila dia bisa melihat ada calon penumpang di tempat-tempat berteduh. Tetapi sepertinya tidak begitu. Sang supir tidak menengok samping kiri-kanan ke arah trotoar. Dia tertunduk, seperti yang pandangannya tertuju pada setir. Sepertinya dia bukan berhenti untuk mengangkut penumpang, karena biasanya angkot tidak selama itu berhenti di pinggir jalan untuk menunggu penumpang naik.

Sang supir lalu membuka pintunya, memegang setir dan badan mobil bagian dekat kaca depan. Dengan pundak seragamnya yang semakin basah, dia memiringkan badannya ke arah depan. Punggungnya kebasahan, dan semakin kuyup. Roda-roda angkot biru itu mulai tampak berputar. Perlahan, kendaraan pengangkut penumpang itu beranjak dari tempatnya berhenti tadi. Mungkin itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan seorang supir untuk menyalakan mesin. Ya, dia seorang diri melakukannya.

Orang-orang yang berteduh lebih memilih diam melindungi tubuhnya dari terpaan hujan. Seperti didikan para orang tua pada anak-anaknya, “Jangan hujan-hujanan! Nanti bisa sakit.” Nasehat yang sama sering diucapkan orang-orang pada orang tua, suami, istri, atau saudara. “Kalau sakit kan jadi repot.” Begitu kata banyak orang. Meski begitu, tetap saja saya tidak tega melihat sang supir yang kepayahan itu.

Beberapa kali saya menengok kiri dan kanan ke arah orang-orang dewasa yang berteduh. Barangkali ada satu atau beberapa dari mereka yang hendak menolong supir itu. Dan ternyata tidak ada.

“Hayu euy.. hayu!” Suara anak kecil berteriak dari arah depan angkot. Dia dan beberapa temannya yang berkaos tim sepakbola berlari ke arah pantat angkot. Mereka berjajar, masing-masing tangannya ditempelkan di bagian belakang badan angkot itu. Berenam, sosok-sosok berbadan kecil itu mengerahkan tenaganya untuk membantu pak supir. Sedikit demi sedikit, angkot itu berjalan semakin cepat, sampai akhirnya sang supir masuk angkot dan angkotnya tidak terlihat lagi dari sudut pandang di dalam gedung apotek. Hanya tersisa pemandangan anak-anak yang bersorak berlompat ria, dan suara hujan beserta raungan mesin angkot.

Syukurlah, angkotnya sudah kembali jalan. Dan nasib anak-anak itu? Ah, saya tidak mampu membayangkan bagaimana mereka saat pulang ke rumah, dan orang tuanya menemukan si cilik basah kuyup. Mungkin mereka akan sakit demam, juga dimarahi oleh orang tuanya.

Nasib mereka seperti lilin-lilin yang orang nyalakan saat rumahnya gelap karena listrik padam. Lilin adalah benda kecil yang biasanya pertama dicari untuk dijadikan pelita dalam kegelapan, tetapi sayangnya lilin juga akan terbakar saat menyala. Mereka seperti menjadi pelita dalam nasibnya pak supir.

lilin-lilin kecil (pict from here)

Saya? Malulah diri ini yang katanya sudah lulus SMU. Malu pada anak-anak kecil yang orang-orang dewasa sering menyebutnya ‘ingusan’, jelek, dan ‘tak tahu apa-apa’.

Cijerah, 
11 Syaban 1435

8 comments:

  1. anak kecil memang selalu memesona ka :)
    Berulah tanpa beban, bebas, yang penting dia bahagia begitupun di sekitarnya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm... jadi inget sesuatu.. :)
      "kalau seorang anak baik pada orang lain, orang akan nganggap anak itu baik. berbeda dengan orang dewasa. kalau seorang dewasa baik pada orang lain, kebanyakan orang menganggapnya modus, menjilat, kode, suka, pedekate, pencitraan, atau (bahkan) gratifikasi."

      Delete
    2. Iya ya benera, aih naha kitu ya? mungkin faktor usia, dan kesingle-an yang mendukung, faktor wajah mungkin juga memengaruhi hehe

      Delete
    3. Entahlah.. barangkali pengalaman..

      Delete
  2. Serius, dsitu ada kotoran kuda tercecer, Mas? :D


    Oya, Mas. Nitip informasi di sini, ya.

    Ngajak Mas Adit juga untuk ikut Giveaway di blog saya, ya. Enggak harus mempunyai Nokia Lumia. Yg pnting ceritanya dikaitkan dg fitur nokia yg bernama Live Tiles.

    http://idahceris.com/informasi/honestly-giveaway-jangan-kudet-dong-2/

    Thanks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Maklum lah, pinggir kota.
      Wah, makasih banget udah mampir. :)

      Delete
  3. salam kenal mas adit :)
    kunjungan pertama

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal juga mas toto. :)
      trims sudah mampir.

      Delete