Tahan, Jangan Marah Dulu!

Mudah untuk mengatakan, tetapi seringkali sulit untuk dilakukan. Bukan sulit sih, melainkan kerap keburu terbawa emosi dan tidak sadar untuk segera mengendalikan diri. Saya sering kesal oleh tingkah orang lain, baik yang kenal maupun tidak dikenal. Bisa karena salah, bisa pula karena berbeda jalan mikirnya.

Ya, seringkali saya dongkol sebenarnya bukan karena masalah benar atau salah, bagus atau jelek, bijak atau tak bijak, dewasa atau tak dewasa. Tetapi karena berbeda cara berpikirnya atau sekadar tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Saya bisa kesal setengah mati kalau ada teman yang meminjam buku, tetapi saat buku dikembalikan keadaannya sudah lepet, keriting, dan guladig (kucel). Saya kesal setengah mati, tapi juga harus sadar bahwa tidak semua orang sayang pada barang bacaannya.

Saya juga pernah dongkol karena ada seorang teman yang pinjam pulpen, tetapi saat saya menagih pulpen itu, ternyata pulpennya sudah hilang. Beberapa kali terjadi demikian. Untuk kali pertama, saya masih memaklumi. Barangkali ada apa-apa dengannya. Tetapi untuk kali kedua, saya ngamuk karena dia kembali menghilangkan pulpen saya. Kesalahan yang sama terulang lagi. Sayangnya, teguran dan kemarahan saya tidak membuatnya membaik. Saya peduli padanya, nyaah lah! Makanya tak rela kalau dia melakukan kesalahan yang sama untuk kali kedua. Dan semoga tidak terjadi untuk yang ketiga, dst.

Mudah untuk menegur, sebagaimana ringan untuk meluapkan kemarahan. Meski dongkol, saya tetap berteman dengannya, dan masih biasa main ke rumahnya. Tidak bijaknya saya, saya tidak sadar bahwa dia orangnya terbiasa acak-acakan. Barang-barang terserak di kamar adalah hal yang lumrah, tidak aneh melihat peralatan makan tersimpan bertumpuk dengan hardisk rongsok. Meujeuh mun pulpen urang lapur! Jadi, kalau saya dibuat jengkel, tidak selalu berarti karena terjadi sesuatu padanya.

Seketika, saya ingat masa lalu tentang bagaimana saya suka kehilangan barang-barang, termasuk uang. Saat itu, saya mulai mengubah cara hidup untuk lebih apik. Telaten menyimpan barang, merapikan kas keuangan, sampai membuat catatan inventaris layaknya kantor. Melalui latihan yang lumayan panjang, saya mulai membaik. Yang lebih diperlukan adalah tahu caranya lalu latihan. Bukan teguran dan kemarahan.

Dulu Rasul pun begitu kan? Saat ada warga yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid, yang dilakukan bukan menegur atau memarahi. Tetapi bertanya ada masalah apa, dan melakukan sesuatu sampai warga itu kehabisan alasan untuk tidak ikut shalat berjamaah.

Ada lagi cerita lain. Suatu hari, saya sedang menyupir di jalan raya dalam kota. Kecepatan mobil saya sesuaikan agar aman bagi kendaran saya, kendaraan lain, juga pejalan kaki. Tiba-tiba, dari arah belakang ada mobil Ava*** yang membunyikan klakson berkali-kali. Saya tahu maksudnya adalah menyuruh minggir. Tetapi caranya itu, benar-benar menjengkelkan. Dia terus-menerus saja membunyikan klakson sampai mobil saya meminggir.

"Naon sih? Meni pikasebeleun pisan!" Ketus saya saat nyupir.


Mobil Ava*** itu pun menyusul dengan gas yang dipacu keras. Terdengar dari suara gerung mesinnya. Seorang kawan di mobil kami akhirnya coba menenangkan saya. "Kalem Dit, Kalem!" Sebenarnya bukan hanya saya yang ketus, di mobil kami itu ada juga penumpang yang ketus.

Mengendarai mobil itu rasanya bikin pengemudi jadi lebih emosian. Orang-orang yang biasa menyupir mengaku begitu, dan saya pun merasakan. Saat menyupir, jadi suka lebih mudah marah. Hal itu yang terjadi saat Ava*** itu mengklakson berkali-kali, seperti tidak ada kesantunan saat berkendara (alias ngajak pasea). Bila saja mobil itu menyalakan lampu kedap-kedip darurat, saya bisa memaklumi. Meski demikian, kawan saya yang menenangkan itu lebih memilih untuk mencari-cari alasan memaklumi. "Bawa teuing manehna keur nahan hayang modol".

Bisa jadi. Kalau lagi mendapat panggilan alam, siapa yang bisa kuat lama-lama menahan. Bisa jadi dia sedang jengkel, ada yang dikejar, atau mungkin lagi M. Atau mungkin.. atau mungkin.. atau mungkin lainnya. Kami tak tahu. Mudah kalau saya mau mengejarnya dan membalas, tetapi sepertinya itu bukan hal yang bijak.

This is a note specially for my self.

2 Dzulhijjah 1435

0 comments:

Post a Comment