Masjid Salman Jatinangor (Masjid al-Jabar)

Dhuha, saya dan Nono menyengajakan diri untuk mampir ke kampus ITB Jatinangor (dulunya kampus Universitas Winaya Mukti) yang konon legendaris karena bangunan tempo dulu disertai cerita mistisnya. Setidaknya itu yang menjadi daya tarik bagi teman saya, sedangkan saya sendiri lebih tertarik untuk mampir ke masjid kampusnya yang katanya sudah dibangun.

Setelah berkeliling komplek kampus dan menemukan situs legendaris nan mistis, akhirnya kami mengakhiri agenda petualangan di ITB Jatinangor dengan pencarian Masjid Salman. Awalnya kami kesulitan mencari lokasnya, bahkan bertanya-tanya pada para pekerja bangunan pun mereka tak tahu. Karena teman saya ini sudah kebelet, tujuan kami pun langsung diarahkan pada sebuah masjid kecil yang ada di selatan area kampus. Sepertinya hanya itu tempat yang bisa dimampiri oleh orang kebelet.

"Aya menara cenah! sama kayak Masjid Salman Bandung. Bentuknya masjidnya serupa dengan bangunan Salman Bandung." 

Saat sudah dekat ke masjid kecil ini, saya sempatkan untuk melihat-lihat sekeliling. Lalu terlihat ada menara berwarna merah. Pikiran saya menerka-nerka, menebak bahwa sepertinya itulah menara Salman Jatinangor. Di daerah seperti ini, tempat mana lagi yang mempunyai menara selain masjid?

Terhalang oleh pepohonan, tampak sebuah bentuk konstruksi bangunan berbentuk kotak dengan beratapkan mangkuk persegi, ciri khas konsep arsitektur masjid Salman. Saya semakin percaya diri untuk bilang "Tah, pasti nu ieu!" (Nah, pasti yang ini).

Rasa penasaran akan profil desain masjid dan keinginan untuk memastikan membuat saya memberanikan diri menerobos lewat area pepohonan. Biarin ah! Akan memutar sangat jauh kalau harus mencari jalan resmi (aspal atau paving blok), jadi kami lewat semak-semak saja. Syukurlah, kami menemukan jalan masuk ke komplek pembangunan. Meski pekerja bangunan tak tahu nama bangunan masjid ini, saya yakin inilah Salman Jatinangor.

Ukurannya tidak begitu besar dan megah, bahkan dibandingkan masjid tetangganya pun (Unpad dan IPDN) Salman masih kalah megah dan kalah besar. Sang arsitek sepertinya sengaja menyediakan area terbuka yang multifungsi (bisa untuk penyembelihan hewan qurban, pembinaan mahasiswa, dll).

Tampak depan

Seiring adzan zhuhur yang berkumandang, kami yang sudah agak lelah pun mampir masuk, sekalian melihat-lihat interiornya, juga merasakan shalat di dalamnya. Tempat wudhu berada di lantai underground. Saya berjalan lewat tangga yang menyambungkan koridor depan (timur) dengan lantai underground. Bagi yang punya keterbatasan fisik, ada jalur khusus untuk kursi roda.


Selantai dengan area wudhu, ada ruang agak besar (mungkin bisa disebut ruang serba guna) dan beberapa ruang kecil (seperti ruang sekretariat-sekretariat). Ruang utama berlantaikan kayu dan mihrab-nya berkonsep sama seperti di Salman Bandung. Di belakang mimbar, sebelah kiri dan kanannya ada ruangan. Bedanya dengan Salman Bandung, dinding tembok di sini berwarna putih, dan bagian pinggir atas berupa kaca.

Ruang utama, dari view lantai 2

Hanya itu, karena memang sesederhana itu. Secara umum, saya menyimpulkannya sebagai Salman yang berkulit futuristik.

Masjid ini ditempatkan di pinggir kampus. Sedemikian pinggir hingga sangat memudahkan masyarakat untuk menjangkaunya. Letaknya berada tepat di pinggir perempatan jalan raya dekat Damri Jatinangor berpangkalan, warung-warung, dan pangkalan ojeg. Bukan hanya itu, arsiteknya pun mendesain tangga dan jalur yang menghubungkan trotoar dengan komplek masjid. Dengan demikian, masjid kampus ini terasa memasyarakat. Para pedagang, pemilik kios, supir bus, kondektur, tukang ojeg, dan berbagai lapisan masyarakat lainnya bisa dengan sangat mudah mengakses.

Tangga, akses dari luar kampus

Setelah puas melihat-lihat area masjid, saya melamun. Si arsitek sebegitu seriusnya mendesain masjid ini. Bukan hanya untuk warga kampus, tetapi juga untuk khalayak luas. Bukan sekadar untuk shalat dan ceramah (atau khutbah), tetapi juga untuk memberdayakan umat dan mempermudah masyarakat untuk mencari serta menyambut hidayah-Nya.

Saya pribadi terkesan dengan masjid yang unik ini. Ini masjid kampus, tetapi penempatannya berada di pinggir jalan raya penghubung kota dan kabupaten. Terbayangkah bagaimana kelak masjid ini akan menjadi masjid singgah (seperti di puncak) yang dimampiri oleh musafir di jalur cileunyi-tanjungsari?

Ah, barangkali ini masjid kampus pertama yang kelak akan berfungsi seperti rest area di jalan tol. Ya, tempat rehat sejenak. Rehat dari perjalanan panjang untuk menyegarkan badan, dan rehat dari hiruk-pikuk keduniaan untuk menyegarkan ruhani yang mungkin telah gersang.

16 Dzulhijjah 1435

2 comments: