Hanya Titipan

Ada saat-saat saya merasa tidak enak ketika seseorang mengungkapkan rasa terima kasihnya pada saya. Bukan karena saya ingin menolak atau tidak peduli, tetapi lantaran saya merasa tidak memberikan sesuatu yang begitu berharga atau bernilai. Berharga maksudnya mahal, bernilai maksudnya bermakna. Ya, karena seringkali dalam hati saya berkata "Ah, belinya murah kok" atau "Nggak susah kok dapetnya."

"Udah, nggak usah dikembaliin. Ngasih aja buat Kamu."
"Beneran DVD-nya ngasih, Kak? Ih, makasih banget."

Barangkali beberapa paket DVD adalah pemberian yang sangat berharga bagi beberapa orang. Tetapi seringnya bukan hal semacam itu yang saya pikirkan. Saat memberikan DVD itu (ya, memberikan, bukan merelakan) saya baru saja mendapatkan file film-nya yang berformat matroska dari seorang teman. Jadi, setelah file film itu ada di laptop saya, untuk apa lagi saya menyimpan kepingan-kepingan DVD-nya? Kiranya, mengosongkan rak (dari kumpulan DVD yang takkan lagi terpakai) akan lebih memperluas ruang. Setidaknya untuk menyimpan barang lain yang kelak lebih terpakai.

Selalu ada cerita di balik cerita, dan begitulah ceritanya. Cerita yang serupa terjadi di hari-hari selanjutnya, dan mungkin akan terjadi lagi dalam hidup saya di kemudian hari.

Suatu hari, ibu pulang membawa sekantung Ubi Cilembu yang masih hangat. Segera saya simpan di meja, lalu dibuka supaya uapnya tidak terbungkus.

"Wah, banyak pisan!" kata saya.
"Iya, tadi ada yang ngasih."
"Gimana ngehabisinnya?"
"Dimakan."

Ya, tentu saja dimakan. Itu artinya harus dimakan sampai habis, dan jangan sampai ada yang terbuang. Saya sendiri sempat kebingungan, karena sudah pasti ibu tidak akan ikut menikmati Ubi Bakar Cilembu. Bukan karena tidak suka atau tidak mau, tetapi kondisi ibu yang rentan diabetes menganjurkannya untuk tidak memakan santapan-santapan yang bergula, salah satunya adalah Ubi Cilembu yang terkenal manis bergula alami.

Saya masih bisa menyantapnya, tetapi tidak semuanya. Memang, makan ubi lebih praktis ketimbang makan nasi yang harus berpiring. Tetapi kondisi ibu yang demikian seperti menjadi peringatan bahwa makanan-makanan untuk saya pun harus dibatasi. Bagaimanapun juga, saya harus sadar bahwa tubuh ini pun rentan diabetes. Bahkan lebih rentan. Begitu kata pakar kesehatan.

Maka saya pun mulai berpikir bahwa ubi-ubi ini tak mungkin saya habiskan sendiri. Harus ada orang lain yang ikut menghabiskannya. Siapa? Entah. Merekalah yang harus saya cari.

Beberapa hari kemudian, terjawab sudah. Ubi-ubi itu saya berikan pada beberapa pedagang yang ada di RW. Senang? Tentu saja. Senang karena melihat para pedagang itu senang, juga senang karena akhirnya ubi-ubi itu ada yang menghabiskan. Ya, senang. Karena sebelumnya saya pernah sedih lantaran dulu di rumah ada makanan yang basi tak termakan, dan harus dibuang, bahkan dikubur supaya bau asam atau busuknya tak tercium lagi.

Saat panen belimbing pun demikian. Kalau sedang musim panen, pohon belimbing di depan rumah lebat berbuah. Saking lebatnya, bisa sampai 3 kantung besar, dan saya bingung bagaimana menghabiskannya. Semua ada waktunya. Sebelum belimbingnya membusuk, saya harus mencari siapa yang kelak akan memakannya.

"Makasih ya, Mas." Kata tetangga. Saya hanya bisa tersenyum, karena hati kecil berkata "Ah, cukup disyukuri aja." Sungguh, tak tega kalau saya menjawabnya begitu. Malah sebenarnya saya juga inginnya berterima kasih karena sudah bantu tak memubadzirkan belimbing itu.

Ubi Bakar Cilembu, yang hanya numpang lewat.

Kadang saya senang saat mendapat rezeki. Kadang bingung dan lemas saat sadar bahwa saya takkan menikmatinya, yang berarti rezeki itu hanya numpang lewat dan saya harus segera mencari alamat penerima rezeki yang sebenarnya.

15 Safar 1436

0 comments:

Post a Comment