Anak (Psikologis)

Bekerja di sekolah nyatanya membuat mata saya lebih terbuka tentang identitas anak. Selain karena sebuah kolom status 'Anak Angkat' pada lembar identitas siswa, saya juga dipertemukan dengan anak-anak yang entah sosok orang tuanya ke mana. Ya, sosoknya. Figurnya. Bukan badan dan kulit wajahnya.

Di mata saya, mereka adalah anak-anak yang mengagumkan. Di balik tingkah nakalnya (menurut kebanyakan orang tua dan guru), mereka adalah anak-anak yang penuh semangat dan ingin rasanya menyebut mereka sebagai survivor yang harus sanggup menghadapi tantangan hidup di zaman yang lebih minim pendampingan walinya.

Salah satu hal yang paling membuat saya terenyuh adalah sampai ada anak yang minta dipeluk dan ingin digendong. Awalnya saya berpikir: kok bisa? Bagaimanapun juga, mereka adalah anak kandung orangtuanya. Sedangkan saya hanya guru di tempat mereka bersekolah. Dalam bahasa para praktisi Psikologi, anak-anak seperti itulah yang disebut fatherless. Mereka punya orang tua kandung, dihidupi oleh orang tua kandung, tetapi tanpa didampingi orang tua kandungnya.

Saya belum mau menyalahkan orang tua mereka, karena kita juga hidup di zaman profesionalisme yang meminta pengorbanan waktu, pikiran, dan perasaan untuk keluarga.

Mereka adalah anak-anak saya? Iya, anak didik. Sama halnya seperti saat lulus SMA dulu wali kelas saya pernah girang "Wah.. anak urang katarima kuliah di kampus negeri!!!" Atau mungkin anak asuh. Seperti saat saya (dan teman satu geng di SMA) punya adik kelas yang orang tuanya bageur pisan sampai ngasih makan dan numpang tinggal. Ada lagi yang lebih parah, teman saya pernah bilang: "Naha nya boga pelatih futsal teh asa leuwih karasa jadi bapa tibatan bapa kandung sorangan?"

Itu anak dan orang tua. Ada lagi yang lebih dari itu. Saya dianggap sebagai cucu gara-gara aktif di masjid. Walaupun nenek-kakek kandung saya sudah tiada, ternyata masjid mampu memberikan saya nenek baru.

Pepatah bilang: "Like father like son". Bagian yang ini mungkin membuat saya disebut pembangkang. Jujur, saya sering membisu bila ada acara kumpul keluarga lantaran merasa asing sendiri. Orang tua dan kakak saya berkarir di bidang IPS, sedangkan saya memilih IPA. Keluarga mengajarkan untuk shalat berjamaah di rumah, sedangkan saya suka minggat untuk shalat berjamaah di masjid. Saya menjadi satu-satunya anak yang aktif di masjid dan mengikuti kursus Tahsin, sampai-sampai bibi menyebut Pak Ustadz. Seterhormat-terhormatnya sebutan "Ustadz", itu pekerjaan yang tak ada dalam 3 generasi terakhir keluarga kami. Itu cukup untuk membuat saya berpikir: ari urang teh sabenerna anak saha?

Paolo-Cesare, anak-ayah yang menjadi legenda Milan

Menjelang peran sebagai ayah, saya lebih banyak merenung. Yang ringan-ringan dulu saja. Selama ini yang mengajarkan saya untuk pandai mengaji dan berusaha shalat berjamaah di masjid adalah orang lain, bukan orang tua. Inginnya, untuk dua hal ini, sayalah yang lebih mengajarkan kepada anak.

27 Zulhijjah 1439 H

2 comments: