Bukankah Kita Sama-Sama Ingin Jadi Orang Baik?

Sejenak saya perhatikan bapak-bapak yang baru saja selesai menunaikan shalat Ashar berjama’ah di sebuah masjid. Beberapa dari mereka merogoh saku guna mengeluarkan selembar dua lembar uang untuk dimasukkan ke dalam kotak shadaqah.

Seperti biasa, masjid selalu menjadi tempat singgah bagi para pedagang keliling yang hendak beristirahat. Tak sulit untuk menemukan gerobak mie, batagor, atau baso tahu diparkir di halaman masjid. Penjualnya? Mereka sedang menunaikan shalat di ruang utama masjid. Kadang, ada juga yang sekedar duduk-duduk atau tidur di teras. Bila kuperhatikan kembali, kadang ada di antara mereka yang juga bersedekah melalui kotak shadaqah yang disimpan di dekat pintu menuju ruang utama masjid.

Meski penghasilan dari berdagang mungkin amat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hal itu ternyata tak mengurungkan niat mereka untuk bersedekah. Meski hanya dengan selembar uang senilai seribu rupiah, niat itu tetap ada.

Bersedekah, menyisihkan sebagian harta demi penghidupan orang lain. Nampaknya itulah kebaikan mereka. Bukankah hidup orang lain pun sama berharganya dengan hidup kita?

Astagfirullah, saya sendiri malah jadi lupa bahwa saya ke sini untuk shalat Ashar. Niat shalat menuntun kaki menuju tempat wudhu, karena memang saya belum wudhu. Letak tempat wudhu yang berdekatan dengan ruang belajar TPA secara tak sengaja memalingkan pandangan saya menuju isi ruang TPA. Di sana tampak anak-anak yang sedang belajar membaca Al-Qur’an ditemani oleh sang pengajar. Pelajaran baru saja dimulai seiring dengan baru selesainya shalat berjamaah di ruang utama masjid.

Yang saya tahu, belajar membaca adalah sebuah proses yang tidaklah singkat. Butuh ketekunan dan keseriusan. Terlebih lagi bagi pengajarnya. Tentu mengajari anak-anak agar terampil membaca Al-Qur’an adalah pekerjaan yang amat membutuhkan kesabaran dan sikap bijak. Anak-anak tidak seperti orang dewasa yang lebih mudah diatur. Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an, mungkin itulah kebaikan dari seorang guru ngaji.

Ya ampun… saya kan mau shalat Ashar.

***
Esoknya saya pergi ke kampus. Seperti biasa, saya berangkat dengan menggunakan kendaraan umum. Dengan angkot  jurusan Sederhana, saya pun berangkat menuju Sukajadi, tempat naik angkot selanjutnya, yaitu angkot jurusan Lembang.

Di Sukajadi, tepat di depan RS Hasan Sadikin, saya turun dan membayar ongkos. Ongkos dari Cijerah ke Sukajadi adalah Rp. 2.500. Saya kasih saja tiga lembar uang seribuan. Mudah-mudahan saja ada kembalian. Namun tak disangka…

“Aa, ada 500-an nggak? Ini nggak ada kembalian.” Tanya pak sopir dengan sopan.
“Wah, nggak ada Pak. Gimana atuh?” Jawabku.
Akhirnya sopir malah mengembalikan selembar uang Rp. 1.000 seraya membalas, “Ya udahlah, nggak apa-apa. Biar 2000-eun aja!”

Saya yang akhirnya hanya membayar ongkos Rp. 2.000 pun tercengang. Seharusnya ongkos yang diterima supir angkot tersebut adalah Rp. 2.500, namun ia merelakan hak senilai Rp. 500-nya untuk seorang penumpang, yaitu saya. Jarang sekali ada supir angkot yang demikian. Bersedia merelakan haknya demi penumpang. Padahal, penghasilannya mungkin tidak begitu mencukupi kebutuhan hidupnya, atau terlalu pas-pasan. Mungkin itulah kebaikan dari seorang supir angkot.

Banyak sekali orang-orang yang berbuat baik, meski ada juga yang berbuat tidak adil, alias jahat. Nampaknya, kebanyakan orang di dunia ini ingin jadi orang baik, hanya saja caranya yang berbeda-beda. Cara yang khas dan unik yang menunjukkan jati diri kita.

Seperti kemarin, seorang pedagang yang bersedekah saat masjid tengah sepi, sehingga tak ada yang melihatnya. Maka wajar bila ia dipandang sebagai orang biasa, karena ia tidak terang-terangan dalam berbuat baik. Dan seperti guru ngaji di TPA yang mengajarkan anak-anak untuk pandai mengaji. Ia berbuat secara terang-terangan berbuat baik, maka wajarlah bila ia jadi panutan, teladan, idola dan figur.

Pedagang punya cara tersendiri untuk menjadi orang baik. Guru punya cara tersendiri untuk menjadi orang baik. Supir angkot punya cara tersendiri untuk menjadi orang baik. Begitu juga dengan petugas kebersihan, pegawai kantor, ibu rumah tangga, dan yang lainnya. Kita pun punya cara tersendiri untuk menjadi orang baik bukan? Cara yang khas dan unik, yang sesuai dengan diri kita apa adanya. Cara yang menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya.


Di sebuah pagi menjelang siang
Cijerah, 22 Juli 2009

0 comments:

Post a Comment