Tak PeDe

Tak Pede. Kalau diingat-ingat, nampaknya selama ini saya hampir selalu tak pede saat menghadapi masalah yang terbilang berat. Tentunya berat menurut pendapat saya pribadi (subjektif).

Saya masih ingat saat masih SMA. Tepatnya menjelang Ujian Akhir Nasional. Berdasarkan pencapaian belajar, ada salah satu pelajaran yang selalu rendah nilainya, yakni Fisika. Setiap ulangan Fisika, nilainya selalu di bawah 5,5. Maka dari itu, saya pun langganan remedial (perbaikan nilai) untuk pelajaran ini. Walau terkadang, ulangan pelajaran eksakta lain pun saya remedial, seperti kimia dan matematik.

Menurut kabar, standar kelulusan UAN adalah minimal 4,51. Bila ada yang kurang dari itu, maka tak lulus.  Kenyataan ini membuat saya sadar bahwa Fisika adalah titik kelemahan saya untuk ujian nanti. Sejujurnya, kalau melihat hasil ulangan-ulangan Fisika, saya tak percaya pada kualitas diri saya sendiri tuk menghadapi pelajaran yang satu ini. Bila diprosentasekan, kemungkinan tuk gagalnya 95% (saya bisa saja menyebutkan 99%, tapi itu terkesan lebay).

Masih dalam keadaan tak percaya diri, saya berusaha semampu saya untuk menghadapi UAN. Saya tahu, dengan kapasitas saya ini, kemungkinannya 95% gagal. Percuma kalau yang lain nilainya 9 semua, tapi ada satu mata pelajaran yang 4,5. Sama-sama gagal UAN, alias tak lulus.

Masih dalam keadaan tak percaya diri pula, saya nekat tuk tetap berusaha, karena saya berpikir masih ada yang 5%. Jadwal belajar pun saya tambah dengan bimbel di salah satu lembaga bimbel. Jadi, hampir tiap hari saya pergi pagi pulang malam. Demi memperjuangkan yang satu pelajaran itu, Fisika.

UAN pun digelar. Hari-hari penentuan saya jalani dengan kemampuan seadanya. Semua ujian saya lewati sekemampuan saya.

Beberapa pekan terlewat, hasil ujian pun telah ada. Alhamdulillah, ternyata saya lulus. Beberapa hari berselang, saya pun diwisuda SMA. Ijazah SMA saya dapatkan. Pertanda bahwa saya telah menamatkan pendidikan tingkat SMA. Pada ijazah tersebut tertera nilai-nilai ujian. Sesuai dugaan, nilai Fisika saya adalah yang terendah, yaitu 4,64. Nilai standar kelulusannya 4,51. Aih.., tak terbayangkan apa jadinya kalau dari semua soal ujian yang saya jawab, ada 2 jawaban lagi yang salah?

Sama halnya dengan SPMB 2004. Lagi-lagi kelemahan saya adalah Fisika. Kata seorang guru bimbel saya, kalau mau lulus. Minimal kita mesti bisa jawab separuh soal dengan benar. Setiap pelajaran terdiri dari 15 soal, berarti 8 soal mesti bisa saya jawab dengan benar. Selanjutnya adalah persaingan. Bermodal kemampuan seadanya, saya berusaha menjalani SPMB ini. Alhamdulillah, ternyata saya lulus. Lagi-lagi dengan kemampuan yang sebenarnya tidak cukup tuk meluluskan saya pada SPMB.

Realistis saja, kemampuan yang saya miliki tak cukup untuk meluluskan saya dalam menghadapi kedua ‘ujian’ tadi, dan itu membuat saya benar-benar tak percaya diri. Realistis karena saya terus-terusan memantau hasil belajar saya melalui beberapa Try Out, dan selama itu hasilnya selalu nihil. Tak satu pun dari hasil Try Out saya yang kesimpulannya ‘LULUS’. Padahal saya sudah habis-habisan belajar.

Mungkin ini adalah jawaban dari do’a dan usaha yang selama ini saya lakukan. Dengan kapasitas yang saya miliki, saya seringkali -bahkan hampir selalu- tak pede tiap kali menghadapi persoalan hidup, tapi saya masih percaya pada-Nya. Ya, sebatas percaya pada-Nya, tanpa percaya pada diri sendiri.

‘Kelulusan’ ini sama sekali tak memperlihatkan kapasitas saya dalam hidup, tapi hanya menunjukkan kebesaran-Nya. Saya pikir, kapasitas saya yang sebenarnya tak cukup untuk membuat saya lulus.

Huufftth.. semoga saja kita bisa tetap percaya pada-Nya.

0 comments:

Post a Comment