Itu Memang Pilihan Hidup, Pak

Tahun 2000 silam, masa-masa muda yang penuh semangat dan keinginan. Hari yang begitu cerah di sebuah daerah Pajajaran, Bandung. Sebuah sekolah sedang ramai-ramainya karena ini jamnya bubar, alias usai pelajaran.

Di sebuah sudut sekolah, saya lagi ngobrol dengan beberapa teman. Sampai akhirnya ada seorang guru (sebutlah namanya Supriatna, guru Bahasa Indonesia kelas 3), yang ikut nimbrung ngobrol bersama kami. Di akhir pembicaraan beliau berpesan “Kalian mah jangan mau jadi guru! Hidupnya susah, gajinya kecil.”

Saya tercengang akan pesan beliau, bahkan masih terpikirkan sampai sekarang. Juga sebenarnya saya selalu mempertanyakan, “Kalau begitu kenapa Bapak memilih untuk menjadi guru?” Itu adalah sesuatu yang tak pernah saya mengerti. Beliau berpesan agar kelak nanti kami tak usah menjadi guru, namun selama ini -terlepas dari segala kekurangannya- saya mengenal beliau sebagai seseorang yang penuh dedikasi dalam mendidik kami, tak sungkan untuk memberi contoh, dan tak berkeberatan untuk menjadi khatib jum’at.

Pak, saya masih percaya kalau Anda dibayar untuk mengajar di kelas, dan negara ini tak pernah membayar Anda untuk menjadi khatib jum’at, ataupun mengajar di luar kelas. Tapi selama ini saya justru menemukan Anda tak pernah kecewa atau terlihat murung untuk jadi khatib, atau guru di luar kelas.

###

8 tahun berlalu, kini saya berada di sebuah persimpangan. Ada sebuah pertanyaan besar, “Saya mau hidup sebagai apa?”

Saya adalah seorang anak yang selama ini tumbuh dalam ‘budaya’ keluarga yang menjadikan uang sebagai standar ukuran. Anehnya justru saya menemukan banyak kenyataan hidup yang berbanding terbalik dengan budaya tersebut. Di tengah keadaan ekonomi yang pailit seperti ini, saya justru melihat orang-orang yang tidak menjadikan uang sebagai tujuan hidup. Walaupun mungkin mereka adalah minoritas, dan bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang.

Ada seorang karyawan perusahaan IT, gaji awalnya 2 juta per bulan. Pada bulan kedua ia gajian, 1,3 juta ia berikan untuk wakaf perluasan area sebuah masjid. Ada juga seorang tukang sampah yang mengumpulkan uang 1,3 juta untuk ikut berwakaf. Bayangkan saja! Tukang sampah penghasilannya berapa? Kemudian ia harus menafkahi keluarganya. Rumahnya berada di sebuah gang kecil, dan ukurannya masih lebih kecil dan sederhana dibanding rumah tipe 21. Satu hal lagi, rumahnya tergolong kumuh. Sulit untuk membayangkan, tapi kenyataannya mereka adalah warga di lingkungan RW tempat saya tinggal. Mungkin ini terkesan lebay, tapi saya harus mengakui bahwa inilah kenyataannya.

Akhirnya saya mesti mengakui kalau saya yang seorang sarjana ternyata masih kalah oleh seorang tukang sampah. Dari mereka saya belajar bahwa ternyata begitulah pilihan hidup.

Sebuah senja di pinggir kota
28 Juli 2010

0 comments:

Post a Comment