Menjaga Impian

Sore yang cerah, dan hari yang melelahkan. Setelah seharian bekerja, berbaring di kasur akan terasa nikmat. Tapi sore ini ada yang harus kulakukan, menjemput adek di sekolah. Seperti biasa, usai menyimpan tas kerja di kamar, dengan masih mengenakan kemeja yang lengannya digulung, langsung saja kususuri jalan menuju sebuah SD yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah kami. Tempat dimana adek sekolah.

Ina Hayuning Kemalawati, itulah nama adek. Coba kutebak, jam segini dia pasti lagi main jungkit-jungkitan di sekolah.

Tuh kan! Dia lagi main jungkit-jungkitan bersama teman-temannya. Ini memang hari yang melelahkan, dan aku ingin segera pulang, tapi adek tampaknya masih asyik bermain. Aahhh... pantas saja ibu memintaku untuk menjemputnya tiap pulang sekolah. Ibu juga pasti tidak tega untuk menyuruhnya langsung pulang. Tapi menunggu adalah pekerjaan yang tak enak. Aku hanya bisa menunggu dan memandangnya dari sebuah sudut di sekolah.

Duduk di sebuah tempat sepertinya adalah pilihan yang tepat. Lagipula kakiku sudah agak pegal-pegal. Untunglah, warung sebelah masih buka dan jualan es krim. Setidaknya ini bisa membuatku jadi lebih segar dan tak bosan-bosan amat. Sekalian beli satu lagi buat adek. Kebetulan di seberang sekolah, ada taman kecil, dan di sana ada ayun-ayunan. Tempat yang biasa kupakai saat menunggu adek selesai bermain.

Sambil duduk, istirahat di kursi ayunan, kunikmati saja es krim ini. Sebentar lagi juga dia selesai, dan dia sudah tahu kalau mas-nya ini sedang menunggu di sini. Karena memang aku biasa menunggunya di sini.

Tuh kan! Dia datang. Begitulah dia, kalau sudah puas bermain, dia akan ‘datang’ dengan sendirinya mencari mas-nya ini.

“Nih. Mas beliin es krim.”
“Asyiikk.. Hehehe..” Dia cengengesan sambil membetulkan kerudung kaosnya. Aku gemas kalau melihat dia cengengesan begitu. Lesung pipinya  terlihat, dan tampak lugu. Jadi ingin mencubit pipinya deh!

Sore ini, kami menikmati es krim sambil duduk-duduk di kursi ayunan. Menjilatnya sedikit demi sedikit sampai habis. Ah, boro-boro habis, dia malah ketiduran sambil menggandeng sebuah tali ayunan. Es krimnya? Ya jatuh, tak bisa dimakan lagi. Polosnya dia kalau lagi begini. Akhirnya aku mesti menggendongnya untuk membawa dia pulang. Tak apalah, kuberikan saja punggung ini untuknya.

Senja yang cerah, mentari tampak tengah menenggelam, dan lembayung mewarnai cakrawala, seakan membuat langit memberikan kehangatan di sela-sela relung hati. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan pulang melalui sebuah sawah yang luas, dan sebuah sungai kecil.

“Mas, mataharinya indah ya! In suka.” Tak sengaja, adek terbangun, dan melihat lembayung tampak di seberang sawah.
“Turun dulu ya! Mas capek nih.” Pintaku padanya.
“Iya. In juga pengen ngeliat matahari dari sini.”

Sore ini pun kami habiskan dengan duduk di sebuah pinggiran sawah sambil menikmati pemandangan tenggelamnya matahari. Sambil main-main juga. Kupetik saja dandelion yang tumbuh liar di sekitar pematang sawah.

“Nih, lihat!” Seruku pada adek, sambil meniup ‘bunga’-nya. Pffuuuuhhhh... bunganya yang putih mirip kapas tipis itu pun beterbangan diterpa tiupan.
“Waaahhh... hebat! In pengen juga...!!!” Dia takjub, kegirangan. Sesegera ia juga mengambil dandelion yang ada di dekatnya. Tapi sayang, karena terlalu kencang mencabutnya, bunganya jadi terurai. “Yaaaahhhhhh...” Ketusnya sambil cemberut. Sementara itu, aku hanya tertawa kecil memperhatikan betapa lugunya adekku ini.

“In..”
“Iya, Mas..”
“Kalau udah gede mau jadi apa?”
“Mau jadi astronot.”
“Astronot?”
“Iya. Ina pengen menggapai bintang.”

Aku hanya sedikit tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. Yah, tapi itulah impian Ina.

Akhirnya, menjelang maghrib, kami pulang. Itu pun karena adek yang sudah lagi-lagi terlelap tidur karena lelah bermain. Dan lagi-lagi aku kembali menggendongnya pulang. Hmmmhhh... jadi teringat lagunya Katon Bagaskara.

Tidurlah tidur, bidadari kecilku
Setelah lelah kau bermain
Mimpikan dirimu dalam istana
Menari lincah dan merdu penuh suka

Tidurlah tidur, bintang kesayangku
Bersinar menerangi sukma
Engkaulah juga yang menjadi alasan
Hingga kupacu semangat hidup menyimpan harapan


Biarlah Ina terlelap tidur di punggungku.

0 comments:

Post a Comment