Memoar beberapa tahun yang lalu. Pekan pertama Ramadhan 1428 H. Sebuah malam yang dingin di Kota Bandung. Tepatnya ba'da tarawih, seorang bapak jamaah di masjid, mendatangi saya -yang saat itu dipercaya menjadi ketua Panitia Pelaksana Program Ramadhan (P3R)- sembari mengucapkan selamat atas keberjalanan kegiatan Ramadhan. "Selamat ya! sukses." Begitu katanya. Saya yang masih terheran hanya tergugup menjawab, "I..iya..Pak. Makasih. Do'ain aja moga lancar."
Sementara itu saya sendiri terheran, emang apanya yang sukses? Lha yang kegiatan jalan baru tarawih rutin. Kegiatan-kegiatan yang lainnya belum terselenggara. Kan ini baru pekan pertama. Padahal event-event Ramadhan adanya di pekan kedua dan ketiga.
Entah apa yang membuatnya mengatakan ini sukses. Mungkin yang beliau lihat adalah keberjalanan ibadah tarawih. Kalau yang beliau maksud adalah demikian, maka yang seharusnya beliau berikan ucapan selamat adalah Iwan dan Ipan, karena merekalah yang mengurus pengelolaan ibadah tarawih. Saya memang ketua P3R, tapi untuk yang program tarawih ini, saya -berani bilang- tak pernah sedikitpun ikut mengurusnya. Ya itu karena saya fokus pada kegiatan yang lainnya.
Rasanya tak enak, orang lain yang susah tapi saya yang diberi ucapan selamat. Ini bukan keberhasilan saya, tapi keberhasilan mereka.
Saya malu pada diri saya sendiri. Malu karena dibangga-banggakan oleh orang lain, padahal itu bukan keberhasilan saya. Rasanya gak adil kalau orang lain yang bersusah payah, tapi saya yang dibilang "baik". Ingin sekali bilang "Tidak seharusnya Bapak mengucapkan selamat pada saya! Seharusnya Bapak mengucapkan selamat pada mereka!"
Mungkin bagi sebagian besar orang, disalami dan diberi ucapan selamat seperti itu adalah hal yang 'enak', tapi saya ingin keadilan, bukan yang demikian... entah kapan keadilan kan selalu hadir di negeri ini?
Sebuah senja di pinggir kota, 13 Desember 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment