Mencari Keadilan (2)

Bertahun-tahun hidup di negeri ini, kita mungkin menyadari bahwa:
  1. Saat ini (2011), menteri sosial kita adalah lulusan fakultas syari’ah dari Timur Tengah, beliau pernah bekerja beberapa tahun untuk kedutaan besar RI di Arab. Sementara menteri agama  kita saat ini adalah mantan menteri koperasi.
  2. Sosok yang dipilih untuk menjadi mendiknas periode kemarin adalah professor bidang ekonomi.
  3. Menteri kordinator perekonomian kita adalah insinyur, bukan pakar ekonomi.
Dan masih banyak hal lain yang serupa. Ibaratkan petani yang ahli cabe ditempatkan untuk menggarap sawah. 

Masih tak habis pikir, “Kenapa?”

Awalnya saya cuek dengan keadaan yang seperti ini. Cuek karena berpikir bahwa toh pada akhirnya semua orang bisa belajar. Alumni fakultas syari’ah bisa belajar untuk jadi menteri sosial, walau butuh waktu untuk belajar. Penjual bakso bisa jadi bandar jengkol, walau butuh belajar. Pemain basket bisa jadi pemain golf, walau butuh belajar. Bahkan ustadz yang biasa mengajar pun bisa jadi pengusaha, walau butuh belajar. Intinya, semua ada prosesnya. Tapi hal itu ternyata jadi lain ceritanya.

Masih ingat, saat ada acara buka bareng (Ramadhan yang lalu) saya diminta untuk ceramah. Tentu saja saya heran, kenapa mesti saya? Padahal masih ada (ustadz) Agung yang sudah jelas-jelas beliau adalah mantan ketua rohis, atau sebutlah (ustadzah) Anita yang merupakan public figure diantara kami seangkatan. Atau kalau perlu, minta pada (ustadz) Eki -pendiri rohis- untuk mengisi ceramah. Selain itu, masih ada (ustadz) Slamet, (ustadzah) Yanik, dan (ustadzah) Syahroy yang -menurut saya- pemahaman keislamannya tak perlu diragukan lagi. Insya Allah mereka adalah orang-orang yang shalih, yang lebih faqih dibanding saya. Pendek kata, walau saya bisa belajar, mereka masih lebih pantas untuk ceramah pada acara buka bareng. Barulah kalau mereka tidak menyanggupi untuk hadir, bae lah makasakeun jang diajar.

Saat masih kuliah, saya diibaratkan saudagar yang numpang berdagang. Sementara mereka adalah agamawan, para ulama. Bahkan k’Agung bisa diibaratkan sebagai ketua MUI (Majelis ‘Ulama Indonesia). Jadi akan lebih bijak dan adil apabila ada keperluan untuk berceramah, beliaulah yang dipilih. Bagaimanapun juga beliaulah yang dulu telah dipilih untuk menjadi ketua “MUI” alias rohis. Saya yang bekas bandar roti pun mengakui kapasitas beliau dan mereka (Eki, Slamet, Syahroy, Yanik, dan Nita). Bahkan Bang Zein sedang berproses untuk menjadi ustadz.

Kawan, kita sebagai rakyat di negeri ini selalu menginginkan keadilan. Begitu kan? Begitu pun saya. Saya juga ingin keadilan. Tempatkanh sesuatu pada tempat yang seharusnya. Percayakanlah amanat pada orang yang semestinya. Wallahua’lam.

Dalam usaha mencari keadilan di negeri ini.
Cimahi, 22 Mei 2011

0 comments:

Post a Comment