Berartikah Kita Untuknya?

7 April 2012 kemarin, saya benar-benar menyaksikan sendiri. Saat dua orang teman saya semasa SMP, Jajat dan Riva menikah. Awalnya saya hanya berpikir untuk sekedar menghadiri undangan sebagai rasa penghargaan saya terhadap seorang teman lawas, yakni Jajat. Yah, dibanding Riva, saya lebih dekat dengan Jajat. Walaupun dulu saya sekelasnya dengan Riva. Namun saya dengan Jajat pernah aktif dalam ekstrakurikuler Pramuka, dan itulah yang membuat kami cukup dekat. Teman kecil senasib sepenanggungan, begitulah saya menganggap teman-teman di Pramuka SMP.

Selalu berkesan dan terasa istimewa ketika membahas cerita-cerita semasa SMP. Bila kebanyakan orang menganggap bahwa masa-masa terindah adalah masa SMA, rasanya saya lebih pede untuk bilang bahwa masa SMP saya lebih berkesan ketimbang SMA. Blak-blakan, jujur, tak pernah ada jaim-jaim, and surely always being our self. Well, hingga saat ini saya belum menemukan teman sebaik persahabatan semasa SMP. Bila sebuah persahabatan dinilai dari bagaimana teman bisa saling mengisi-saling berbagi-saling menolong, ketiga hal itu benar-benar saya dapat dari teman SMP.

Saat seseorang menjadi sosok yang berarti, ingin hati untuk bertemu. Rasanya itu pula yang ada dalam benak Jajat di hari pernikahannya bersama Riva. Ingin sekali bisa bertemu dengan teman-teman masa sekolahnya. Terlihat dari semua tamu undangan yang hadir di siang itu. Separuhnya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu, maklum lah mereka diundang oleh orang tua kedua mempelai. Separuhnya lagi adalah mereka yang sebaya dengan kedua pengantin, dan uniknya, saya hampir mengenal semua tamu undangan yang hadir, terutama para tamu yang sebaya itu. Itulah kenapa saya berani berpikir bahwa bagi Jajat pun, teman-teman semasa SMP adalah teman-teman terasa berarti.

Pada undangan ini saya menghabiskan cukup banyak waktu. Maklum lah, acara hajatan yang satu ini seperti reunian. Bila bukan di sini, kapan lagi bisa bertemu dan banyak saling berbagi cerita tentang hidup kami? Hehe, memang ada kalanya sebuah acara pernikahan bukan sekedar udangan hajatan, tapi juga sebuah reunian. Tempat dimana kita bisa temu kangen, dan bertukar banyak cerita.

Mungkin karena saya terlalu menikmati, waktu terasa berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah jam dua, momen penghujung acara resepsi pernikahan Jajat dan Riva. Terlihat kedua pengantin sudah beranjak dari kursi mempelainya. Berbeda dengan Riva yang larut dalam obrolan dengan beberapa tamu, Jajat tampak agak gelisah. Jajat tampak mondar-mandir sedikit-sedikit melihat ke arah pintu masuk gedung, seperti yang menanti dan mengharapkan kehadiran suatu sosok. Duh, sampai sebegitunya dia mondar-mandir! Entah siapa lagi yang dia tunggu kehadirannya di momen yang istimewa ini. Yang jelas, mereka pasti orang yang berarti bagi Jajat.

***
Demikian halnya hari Ahad, 8 April 2012. Hari di mana Darmawan (juga teman saya semasa SMP) menikah. Saya terkejut. Benar-benar tidak menyangka, selain Anggi dan Edi, tidak ada lagi orang yang saya kenal. Bahkan teman-teman SMA dan kuliahnya Darmawan pun tak tampak. Yang ada menghadiri undangan hanyalah kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu. Seketika itu pula saya tersentak berpikir: Gila! Ke mana teman-temannya?

Sumringah, juga terharu. Itu yang tersirat dalam mata Darmawan saat kami bertiga datang dan tengah bersiap menyalaminya. Sebagai teman menggila dia waktu SMP, kami tahu betul seperti apa ekspresi kebahagiaan dia. Bagja pisan lah! dan itu terbukti saat setelah menyalami, Darmawan bersikeras langsung meminta kami untuk berfoto bersama dengan pengantin. Duh Darmawan, nyampe segitunya pengen difoto bareng.

Saya yang membayangkan apa yang dirasakan Darmawan, seketika itu juga langsung mengontak beberapa teman sealmamater. “Woy, datang ke nikahan si Darmawan woy! Watir, dia pengen pisan ketemu... Cepetan!” Beneran, saya tak tega melihat Darmawan yang baru bertemu dan disalami hanya oleh tiga temannya (teman jadulnya).

Benar-benar mengharukan saat menghadiri undangan tersebut. Seolah-olah mereka tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk bisa bertemu teman-teman lawasnya. Jajat dan Riva, setahu saya mereka bekerja di Bandung, walau tidak menutup kemungkinan pindah ke luar kota. Sedangkan Darmawan, dia dan istrinya sudah berstatus sebagai pegawai di sebuah perusahaan di Jakarta.

Saya sendiri kelu melihat ekspresi mereka saat bertemu kami. Tak bisa berkata banyak untuk menggambarkan rasa yang tersirat di balik ekspresi mereka itu. Bagaimana rasanya saat orang yang diharapkan datang belum juga hadir? dan bagaimana rasanya saat orang yang dinanti itu telah hadir? Yang jelas, saya hanya bisa bilang: selalu penting untuk hadir di samping orang-orang yang menganggap kita berarti. Kabar baiknya, saya menyanggupi hadir ke kedua pernikahan tersebut. Alhamdulillah. Tak terbayang bila saat itu saya tidak bertemu dengan mereka.

Rasanya saya mesti mengaku bahwa ada baiknya untuk mengetahui, “Berartikah diri kita untuknya?” Bukan karena ingin supaya diri kita diistimewakan atau sekedar dianggap berharga, namun mungkin saja ketidakhadiran kita bisa jadi kesedihan untuknya. Sebagaimana pada saat-saat tertentu, kita selalu mengharapkan kehadiran orang-orang yang berarti dalam kehidupan kita. Kedua orang tua, sahabat, kekasih, dan lain sebagainya. Sederhananya, bila kita adalah sosok yang berarti, kehadiran kita bisa berarti kebahagiaan untuknya.

Jadi,
berartikah daku untukmu?
 
dan, kau anggap apa daku dalam kehidupanmu?


Kala terik mentari mulai menyapa senja,
Cijerah, 11 Mei 2012



2 comments:

  1. jadi keinget masa2 terindah saat SMP, yang ga bisa tergantikan pas kita SMA..
    beruntung kamu masih bisa ketemu temen2 SMP, semoga kelak aku juga bisa ketemu lagi ama temen2 SMP aku :(


    http://khupuku.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. coba aja kontak2 lagi, sapa tau bisa ketemu :)

      Delete