Ke Tanah Suci #1: Datang dengan Cinta

Bisa menginjakkan kaki di tanah suci adalah sebuah impian bagi kami para muslim. Terlebih lagi bila menapakkan kaki sebagai jama'ah haji di bulan Dzulhijjah. Keinginan itu sempat saya ucapkan saat masih kecil kelas 3 SD, tahun 1995. Masih teringat jelas, salah satu foto yang dipajang di sebuah ruangan adalah foto ka'bah yang sedang dikelilingi para pentawaf. Ketika itu, saya sempat memandangi foto tersebut, dan berandai-andai menjadi bagian dari pusaran manusia yang arahnya berlawanan jarum jam itu. Cukup larut membayangkan, hingga keharuan menyelimuti batin dan membasahi mata.

17 tahun kemudian, undangan itu datang. Ibu mendapatkan 2 tiket umroh dari sebuah travel tempat temannya berpartisipasi. Sebuah travel kecil yang sederhana dan lebih mengedepankan kekeluargaan (tapi ya tetap harus adil kalau urusan bayar). Sebenarnya, selama 17 tahun ke belakang saya melupakan impian tersebut, dan tak pernah terpikir untuk mencari peluang pergi ke tanah haram. Sejauh itu pula saya hanya berpikir seperti biasa: sekolah, kerja, berkarir, berkeluarga, memperjuangkan masa depan. Tapi taqdir menyiapkan cerita sendiri, saya terpilih untuk singgah ke tanah suci. Ada 2 tiket, salah satunya pasti milik ibu, dan yang satu lagi ternyata ibu serahkan pada saya. Dengan kata lain, ibu memilih saya untuk menemaninya.

Tentukan niat! Mungkin agak berbeda dengan ibu yang ingin merasakan kembali sensasi suasana peribadatan di tanah suci, sedangkan saya meniatkan diri untuk mencari ilmu, atau setidaknya menambah wawasan.

Berangkat tanggal 21 April 2012. Jam 3 malam, kami berangkat ke tempat berkumpulnya rombongan, di jalan Pahlawan. Tak lama, kami naik bus dan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta via tol Cipularang, sedangkan untuk shubuhnya mampir ke rest area. Ini adalah niat baik untuk perjalanan ibadah ke tanah suci, jadi pastikan bahwa langkah-langkah ke sana pun dilakukan dengan cara yang baik: menggunakan uang yang halal, jangan rebutan kuota keberangkatan, awali keberangkatan dengan istighfar, dan jangan tinggalkan ibadah wajib meskipun di perjalanan. Patut disyukuri, rombongan kami sampai di rest area beberapa menit sebelum adzan shubuh, sehingga bisa mengikuti shubuh berjama'ah kloter pertama tanpa masbuk.

Mejeng di depan terminal 2 Sutta

Jam 8 pagi kami sudah masuk ke terminal 2 bandara untuk berkumpul bersama sesama rombongan dari Bekasi. Sedikit pengarahan sambil pembagian atribut rombongan, lalu menunggu jam 10 untuk check in. Menit demi menit yang cukup banyak. Demi membunuh waktu pun saya jalan-jalan ke sekitar bandara. Tapi hanya di terminal 2. Kira-kira we mun ka terminal 1 atawa 2 mah atuh euy!

Kejutan! Seorang teman lawas datang untuk menyampaikan selamat berangkat. Ngobrol sejenak, karena saya juga penasaran tentang ada apa sebenarnya di balik bandar milik Angkasapura ini. Sangat padat, banyak iklan, tapi kecil dan tampak miskin. Itu karena dia orang Dephub bagian udara.

Jam 10, kami check in ke ruang pemeriksaan dan siap-siap ke ruang tunggu sebelum boarding. Serasa kayak di film Ada Apa dengan Cinta pas bagian Rangga dikejar. Hanjakalna weuh si cinta nu ngudag urang nepi ka bandara. Di ruang tunggu lumayan lama, sekitar 1 jam menanti pesawat B737 kepunyaan Air Malaysia datang menjemput. Akhirnya tiba juga, pesawat jet putih berpoles cat strip merah-biru itu pun datang mendekat. Menunggu sesaat hingga penumpang dari pesawat telah keluar semua, lalu giliran kami. Memang ada perasaan ingin segera mencicipi jok penumpang, tapi sabar saja lah. Tertib lebih baik!

Dasar orang Indonesia!!! di sinilah tidak mau tertibnya orang Indonesia terlihat. Mereka duduk secara acak, tak mau duduk berdasarkan tiketnya. Berbeda dengan orang luar yang mau duduk berdasarkan nomor seat yang tertera di tiket. Bahkan bila mereka ditawari seat lain pun, mereka tak mau. Alhasil, saya yang di tiketnya tertera seat 27A pun harus mengalah. Padahal sangat ingin duduk persis di pinggir jendela. Di pesawat B737 ini, satu baris penumpang terdiri dari 6 kursi. Angka menandari barisannya, sedangkan huruf menandai di bagian mana si penumpang duduk. Ada 6 kursi dalam 1 barisan, kode A-F menandakan keenam kursi itu. Urutannya: A-B-C terpisah jalur tengah, lalu D-E-F. Seat A dan F adalah yang paling pinggir.

Paspor dan tiket

Saat-saat yang ditunggu itu pun tiba. Mesin dinyalakan, pesawat beranjak dari parkir menuju landasan pacu. Pandangan saya tentu saja tertuju pada suasana di luar jendela. Saat pesawat jalan menuju landasan pacu, saya terkejut. Sarappp!!! Pesawat siapa itu? Ada pesawat yang baru datang saat beberapa ratus meter lagi kami akan masuk landasan. Itu artinya beberapa menit sekali tiap pesawat menginjakkan ban di landasan ini. Ini uangnya dikemanain oleh pemerintaaaaahh?????

Pesawat diam sejenak di ujung landasan. Menyiapkan mesin, melebarkan sayap, menyiapkan turbo, dan tentunya menunggu izin terbang serta berita lalu-lintas udara. Tentang jalur ketinggian yang dipilih, nanti akan ada kabar. Bweezzzzzz.... tancap gas, angkat kaki, terbang diagonal. Rasakan badan terangkat dari darat dan melawan gravitasi bumi. Seperti vertigo, terlebih lagi saat pesawat belok. Beberapa saat kemudian, kapten mengumumkan posisi ketinggian pesawat. Ini penting bagi penumpang, karena pesawat akan terbang vertikal dari diagonal. Pada fase terbang diagonal, pesawat akan banyak mengalami turbulensi, efeknya penumpang merasakan goncangan layaknya gempa. Hal ini dikarenakan pesawat menembus berbagai lapisan udara dengan tekanan yang berbeda-beda. Tumbukan udara yang diakibatkan oleh perbedaan tekanan itulah yang dimaksud dengan turbulensi. Tak lupa, adanya perubahan sumbu terbang dari diagonal ke vertikal pasti akan membuat perubahan rasa keseimbangan terhadap gravitasi. Sekali lagi, ini penting! karena bila kita kebelet dan berada di toilet, potensial untuk menyebabkan uprat-apret.

2 jam kemudian, setelah melewati Singapore dan Medan, kami sampai di tempat singgah: Kuala Lumpur International Airport. Tujuannya untuk ganti pesawat, dan tentunya ini tak lepas dari kebiijakan pemerintahnya Malaysia untuk mempromosikan pariwisata negeri tetangga tersebut. Hah, menyesakkan di hati. Karena bandara KL ini begitu megah, terawat, dan sepi. Tidak banyak iklan. Lebih menyesakkan lagi saat (dari udara) melihat kondisi tanah di area bandara KL ini dibangun. Tak aneh namanya Kuala Lumpur, itu dikarenakan tanahnya memang lebih bersifat "lumpur". Bayangkan sendiri! bagaimana bandara seperti ini dibangun di atas lumpur? sementara lalu lintas penerbangannya tidak seramai Indonesia.

KL International Airport

Intinya: banyak yang harus kita benahi di negeri ini.

1 jam kesinggahan, kami pindah ke terminal yang lebih besar melalui kereta listrik. Pesawat yang besar diparkirkan di area yang lebih besar. Di terminal yang lebih besar inilah kami menjumpai pesawat yang lebih besar, B747. Itulah pesawat yang akan kami tumpangi. Dari jendela, terlihat mobil kargo sedang mengangkut barang-barang kami. Setumpuk tas koper berwarna kuning. Jadi terlihat, pesawat mana yang akan kami tumpangi.

Siap ditumpangi

Tanpa menunggu lama, kami pun naik ke pesawat. Karena menurut tiket, seat saya bukan di pinggir, jadi bebas lah mau di mana saja. 8 jam adalah waktu yang lama untuk sampai ke Jeddah, Malik 'Abdul 'Aziz Airport. Selama 8 jam itu pula, para penumpang dapat jatah 3 kali makan snack dan 2 kali makan besar. Selebihnya: tidur, nonton, atau ke toilet.  Satu lagi, karena tadi berangkat jam 14.45 waktu KL, jadi selama di pesawat shalat Zhuhur dan Ashar dijamak-qashar.

Makanan berat saat mengudara

Perjalanan 8 jam di udara bukan berarti sampai Jeddah jam 22.45-an. Perbedaan area yang jauh menyebabkan perbedaan waktu. Kami sampai di tanah Su'udiyah (sebutan orang timur tengah untuk 'Arab Sa'udi) tepat saat adzan Isya berkumandang.

Inilah tanah 'Arab, tanahnya para Nabi. Dijadwalkan, setiba di 'Arab, kami langsung berangkat ke Madinah.

Bandung, 15 Rabi'ul Tsani 1434

0 comments:

Post a Comment