Semangkuk Bubur Kacang, Catatan, dan Hidup


Sebuah akhir pekan, malam, dan kemacetan. Jam 8 malam saya masih dalam perjalanan pulang dari kawasan Rancabadak. Ini memang malam Sabtu, namun bagi kebanyakan orang malam ini sudah termasuk akhir pekan. Siang yang begitu terik menyengat kami yang jam 12 menyinggahi masjid untuk shalat Jum'at, dilanjutkan dengan guyuran hujan sekitar jam setengah tiga, disambung oleh kemacetan di beberapa ruas jalan. Siangnya kepanasan, agak sore kehujanan, dan pulang membawa kepenatan.

Agenda terakhir saya adalah mengambil jahitan hasil permak di sekitaran blok 4 Cijerah. Kemeja flanel yang saya beli dari pasar loak beberapa pekan silam ukuran lebar perutnya kelebihan, jadi saya minta dikecilkan saja. Disesuaikan dengan ukuran badan saya yang -katanya- kurus ini. Setelah dicoba hasilnya, klop! ngepas! sesuai dengan postur saya. "Berapa, Mas?" tanya saya. "Lima ribu sajjaa!" Karena sebelumnya saya kehujanan dan jadi agak kedinginan, maka kemeja berbahan flanel itu pun langsung saya pakai.


Selesai sudah agenda saya seharian ini, namun penat masih tersisa. Hffuuuhh.. saya merasa perlu rehat sejenak dari hidup ini. Kalau bahasa orang kantornya: niis heula, mendinginkan suasana batin.

Mendinginkan batin kadang bisa dilakukan dengan cara sebaliknya: menghangatkan badan.

Masih ada dingin yang disisakan hujan tadi sore. Malam yang dingin ini pun tampaknya akan terasa nikmat bila diimbangi oleh santapan yang hangat-hangat. Mengalihkan pandangan ke beberapa sudut, ada beberapa pilihan. Warkop, nasgor, martabak, gorengan, dll. Namun ingat tempat bernama blok 4 ini, saya teringat pilihan menu yang rasanya tepat untuk keadaan cuaca seperti malam ini: roti bakar.

Ah, sayangnya tukang roti bakar yang di depan alifamart tak jualan. Entah ke mana. Dengan agak berat hati saya pun mencari alternatif lain, dan pilihan saya jatuh pada bubur kacang ijo yang mejeng di samping perempatan. Akhirnya, malam ini pun saya mencari kehangatan dari semangkuk bubur kacang ijo. Hiduuuppp.. hiduuuppp.. beginilah hidup saya, beginilah cara saya menikmati hidup.


Nasib orang pinggiran, cara hidup orang pinggiran, cita rasa orang pinggiran. He.. he.. he..

Lama tak mampir ke sini, akhirnya bisa kembali merasakan hidangan seharga Rp. 2.500 -yang katanya- khas Madura itu. Semangkuk kecil yang berisi kuah santan, kacang hijau, ketan hitam, ditambah sepotong roti dan susu putih manis.


Hidup ini seperti semangkuk bubur kacang. Ada kacang hijau, ketan hitam, kuah santan, dan sepotong roti. Setiap bagian punya rasa dan makna masing-masing. Namun saat semua itu dipadukan saya hanya bisa bilang itulah semangkuk bubur kacang. Masing-masing kejadian memberikan rasa dan menawarkan makna tersendiri, namun saat kesemuanya berpadu saya akhirnya hanya bisa mengatakan "Begitulah hidup".


Jadi, nikmati saja bubur kacang ijo ini!

18 Rabiul Tsani 1434
 

0 comments:

Post a Comment