Selepas maghrib, saya melihatnya sedang menunaikan shalat rawatib.
Sepintas tak ada yang tampak istimewa dari penampilannya, namun ada sesuatu
darinya yang menyita perhatian: keteguhan hati beliau. Menjelang malam itu pun,
saya terpana melihat sosok renta yang kokoh pendiriannya itu. Ya, rapuhnya
jasad tak meruntuhkan kokohnya pendirian beliau.
Saya tak perlu menduga-duga berapa umur beliau, namun dari caranya berdiri sepertinya sudah cukup untuk menggambarkan seperti apa keadaan fisiknya saat ini. Juga rasanya tak perlu menebak-nebak di mana tempat tinggalnya, karena rasanya itu pun tak cukup pantas untuk menjadi pembanding beliau yang mengusahakan sekuat tenaga untuk shalat maghrib berjamaah di masjid, karena dengan keadaan fisik yang seperti itu kebanyakan orang tua lebih memilih untuk memanfaatkan rukhshah (keringanan) dalam amal-amal. Biasanya, mereka lebih memilih untuk shalat 5 waktu di rumahnya.
Kakek ini berbeda. Beliau bukan sekedar mengusahakan untuk ikut shalat
berjamaah kloter pertama, tapi juga mengusahakan shalat sunahnya (rawatib).
Padahal untuk berdiri takbiratul ihram saja posturnya tampak seperti setengah
rukuk. Saya yang memperhatikannya, tak mampu membayangkan bagaimana rasanya
menyempurnakan gerakan-gerakan shalat dengan keadaan tubuh yang sedemikian
rapuhnya. Tak cukup sampai situ, kakek ini pun tak menggunakan
keringanan-keringanan seperti shalat sambil duduk, atau gerakan sujud dan rukuk
yang sekedar isyarat. Padahal bila mau, menurut saya sih beliau sebenarnya
bisa-bisa saja mengambil keringanan dalam shalat.
Kalau ibu-ibu di warung, biasanya membahasakan: “Ih, dadaekanan si aki. Mun abdi mah mending natepan di bumi we...”
maksudnya: Ih, mau-maunya si kakek. Kalau saya mendingan shalat di rumah saja.
Jangankan untuk jalan ke masjid, untuk menunaikan shalat dengan gerakan-gerakan
yang sempurna pun biasanya orang dengan keterbatasan keadaan fisik lebih
memilih keringanan. Terlebih lagi sekarang sudah trend pakai motor. Untuk jarak
tempuh yang ratusan meter saja orang lebih pilih mengendarai motor, padahal
fisiknya masih segar dan kokoh.
Sah-sah saja bila saya menduga si kakek bawa motor ke masjid, namun
kenyataannya di luar masjid tak ada motor yang parkir. Begitu pula seseorang
pengendara motor yang menunggu untuk menjemput si kakek, tidak ada. Duh,
syukur-syukur andai ada salah satu keluarganya yang mengantarkan kakek ini
pakai kendaraan.
Malu rasanya bila ingat beliau. Saat jasad ini sudah sedemikian
gopohnya, akankah pendirian cukup kokoh untuk menopang niat mulia? Aaahh...
kuatkan ruhiyahmu, Cu!
20 Rabiul Tsani 1434
0 comments:
Post a Comment