Beberapa menit setelah unfriend, dia SMS. Isinya menjelaskan bahwa dia ternyata memutuskan untuk menggunakan facebook sekedar sebagai lapak dagang. "Dit, kita pren di dunia nyata aja yah. Di dunia maya hanya buat dagang." Saya jawab saja iya. Sekaligus menambahkan bahwa sebenarnya niat saya buka akun facebook pun adalah untuk mencari kabar kawan-kawan lama, bukan untuk eksis-eksisan. Jujur saja, saya malah jadi lebih senang. I like that! Bagi saya itu adalah hal yang patut dihargai.
"Real friends live in the real world, not in the cyber world."
Jadi, bila saya bertemu dengan seseorang di dunia maya (kaskus, paseban, mailinglist, deviantart, facebook, dll.) dan mau menjadikannya sebagai teman sejati, bertemulah. Saya pikir itulah kenapa setiap forum di dunia maya biasanya punya acara kopdar. Itu karena kopdar berfungsi untuk mempertemukan para penghuni forum di dunia nyata.
Saya setuju dengan cara berpikirnya beliau. Berteman di dunia nyata saja, bukan di dunia maya. Sekiranya bisa berteman secara nyata di kehidupan yang nyata, buat apa memilih yang kehidupan di dunia maya? Toh saya menjalani hidup ini di dunia nyata. Makan, belajar, buang air, dll.
Mengulas balik masa lalu. Dulu saya membuat akun facebook sekitar tahun 2008 saat situs jejaring sosial ini belum ramai (hanya familiar di kalangan pegiat IT), masih kalah populer dibanding friendster. Dengan desain yang sedemikian rupa, saya memperkirakan segmennya facebook cocok untuk gaya bergaulnya teman-teman saya jaman SMA. Dengan begitu saya bisa melacak keberadaan mereka. Lagipula, niat saya membuka akun Fb karena mau mencari kawan lawas, terutama sejawat SMP dan SMA. Menggembirakan! Saya berhasil menemukan mereka. Susan, Rino, Yonda, Tomy, dll. Dengan begitu, saya bisa menjalin kontak dengan orang-orang yang 'hilang'.
Perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, -saya akui- sepertinya mengubah cara hidup manusia di abad ini. Mulai dari tren (ikut-ikutan), eksistensi (loba gaya), hingga masalah pertemanan. Sangat terasa, ada yang berbeda dari jaman surat-menyurat, telfon rumahan, hape, hingga era situs jejaring sosial. Dulu kalau ada apa-apa dengan teman, cara yang dilakukan adalah mencarinya dan bertemu. Selalu bertemu. Adapun telefon, surat, memo, itu dilakukan untuk menyampaikan pesan dalam rangka mencari momen yang pas untuk bertemu.
Pola pertemanan semacam itu perlahan mulai ditinggalkan saat orang-orang mampu membeli hape. Tapi dulu jaman harga SMS per kirimnya 350 rupiah, rasanya sayang. Maklum lagi boke, jadi SMS digunakan untuk mencari kesepakatan bertemu. Pertemuan di dunia nyata masih menjadi pilihan yang pas. Keadaan mulai berubah saat tarif SMS turun disertai bonus ribuan SMS gratis. Orang bisa ngobrol puas sekedar melalui SMS-an. Ngobrol via SMS jadi terkesan lebih ekonomis ketimbang bertemu langsung. Seolah-olah tidak perlu ada kopdar. Akhirnya pola baru mulai terbentuk: berkenalan di dunia nyata, berteman di dunia maya.
Pola baru tersebut jadi lebih kentara saat situs jejaring sosial semakin populer. Cukup via Fb (atau sekarang mah via twitter). Hal tersebut bisa dipahami. Kuliah sudah beres, dan tiap orang punya kesibukan masing-masing. Maka facebook menjadi alternatif untuk merawat pertemanan. Bila sudah tidak telfon-telfonan atau SMS-an lagi, setidaknya tahu kabar melalui postingan di Fb.
Perlahan tapi terasa, niat awal saya berjejaring sosial sepertinya mulai menemui jalan buntu. Entah berapa banyak kawan lawas yang menghilang dari peredaran di dunia maya. Seperti Yonda, Kino, Eria. Dicari melalui search engine, tidak ketemu juga. Kesimpulannya: saya kehilangan mereka.
"Orang-orang ingin kejujuran, keaslian. Bukan kepalsuan."
Saya pun demikian, tidak menyukai kepalsuan. Sementara beberapa teman lawas sudah menutup akun facebooknya, saya masih berpikir untuk pasif. Bukan tanpa alasan, melainkan karena hubungan yang terjalin di media jejaring sosial itu rasanya semu. Kenal, tapi sebenarnya tidak kenal. Berteman, tapi sebenarnya tidak berteman. Di laman saling mengomentari, tapi saat bertemu malah saling diam seperti orang yang tak kenal.
I have many friends in facebook, but fake friendship. Berteman, tapi serasa kosong. Bersahabat, tapi serasa hampa. Kalau begitu, rasanya kembali lebih 'primitif' menjadi pilihan yang lebih baik.
"Real friends live in real world. Fake friends live in cyber world. Nevertheless, any kind of friend is valueable."
19 Jumadil Tsani 1434
good.
ReplyDeleteTrims. :)
Delete