Ngebul di Warung

Suatu siang di daerah Dago seputaran Bangbayang. Tanpa tersadar, ternyata perut saya sudah waktunya diisi. Kosong terasa. Seperti nasehatnya Muhammad (saw.), makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jadi sebelum perut terasa panas karena gesekan lambung dan asamnya (HCl) bertambah, segeralah makan. Mumpung isi perut belum beraksi, jadi cari makan saja.

Saya yang sedang berjalan kaki menuju jalan Tubagus Ismail untuk mencari angkot biru, sudah merasakan kepenatan di siang bolong. Ya, maklum lah. Mahasiswa S2 dengan segala keruwetannya menyusun tesis. Namun apapun itu, saya setuju dengan pendapat bahwa hidup ini perlu seimbang. Jadi apapun aktivitas yang dijalani dan sepenat apapun aktivitasnya, perlu ada penyeimbang berupa istirahat sejenak, penyegaran, rehat, hiburan, atau obrolan ringan.

Cari tempat makan! Makan bukan sekedar mengisi perut, tapi juga berarti melepaskan pikiran dari sekelumit pekerjaan atau masalah lain yang terngiang-ngiang. Begitu kan? Lagipula, bila makan sambil memikirkan pekerjaan, yang ada malah jadi tak fokus dan kerjaan pun telat beres. Atau kerjaan beres tapi makanan keburu dingin.

Jadi, makanlah sambil melewati bagian hidup yang mudah dinikmati. Ameh leuwih ngeunah daharna.

Siang itu pun, saya berjalan sambil melirik-lirik tempat makanan yang tepat untuk menikmati hidup. Hingga akhirnya teringat pada suatu tempat kecil yang dikatakan teman, Warung Ngebul. Sepertinya itu tempat yang tepat, untuk makan juga rehat. Perhatian pun saya tujukan pada sebuah bangunan di pinggir jalan Dago yang lebarnya sekitar 5 meter, di depannya ada sebuah papan bertuliskan Warung Ngebul dengan mencantumkan beberapa menu di bawahnya. 


 Lirik-lirik, saya memperkirakan menu apa yang tepat untuk dilahap. Nasi Ngebul? Nama menu yang unik, identik pada nama tempatnya. Selain penasaran seperti apa bentuknya, saya berpikir nama 'Ngebul' itu menunjukkan bahwa itu adalah menu trademarknya Warung Ngebul. Alhasil, menu itulah yang menarik simpatik saya untuk singgah di tempat tersebut.

Kesan homey sudah terasa saat saya baru selangkah menginjakkan kaki di halaman depannya. Kesan itu didapat dari interiornya yang tampak dirancang sebagai tempat bersantai. Kesan sebagai tempat nongkrong tampak kentara bila dilihat dari penataan cahaya yang redup, dan tempat duduk yang empuk layaknya di paviliun rumah. Tempatnya juga tidak ramai, jadi bisa berlama-lama. Hari Rabu siang sih begitu, kalau akhir pekan tak tahu ya!



Sesuai dengan rencana awal, saya pun memesan Nasi Ngebul. Tadinya terbayang nasi ngebul itu disajikan dalam keadaan ngebul, alias sedang panas-panasnya. Saking panasnya, jadi tampak ngebul. Tapi anggapan saya salah, karena ternyata tidak tampak ngebul. 

 
Setelah melihat tampilan dan racikannya, muncul anggapan lain seputar kenapa dinamakan nasi ngebul. Itu mungkin karena komposisi racikan bumbu nasi yang kaya akan rempah-rempah khas Indonesia dipadukan dengan taburan sambal kering.

Nasi Ngebul ini dihargai 15 ribu rupiah. Sebuah patokan harga yang menurut saya cukup pas untuk makanan di sebuah kedai kecil pinggiran jalan Dago. Bahkan bisa dikatakan cukup murah. Ini tempat yang cukup tepat untuk nyantai, reuni kecil-kecilan, nongkrong bareng, kencan, atau bertemu klien. Suasana yang homey dan agak sepi menjadi pertanda bahwa sebagai tempat umum, Warung Ngebul dapat memberikan area privasi dengan sangat baik. Cocok buat yang sedang ingin niis menyendiri, meladeni curhat, atau kencan.



Tapi ingat! Tempat ini tidak memfasilitasi Anda untuk bergaya atau memenuhi hasrat high profile, layaknya Starbucks, Ngopi Doeloe, J.Co, dsb. Tidak dianjurkan bila Anda ingin tampak elegan dan berkelas di hadapan teman, relasi, atau wanita incaran.


21 Jumadil Tsani 1434

Categories: ,

0 comments:

Post a Comment