Pernah mengenal mereka adalah hal yang mengesankan, sampai-sampai saya tak menyangka bahwa sudah sampai di titik ini. Alias sudah dapat melangkah sejauh ini. Pencapaian-pencapaian yang dulu saat masih kecil tak terbayangkan, bahkan terasa seperti takkan tergapai. Namun seiring berjalannya waktu, tanpa saya sadari langkah-langkah ini tergerak didampingi mereka. Dulu tak pernah terpikir saya akan kuliah hingga S-2, tak terbayangkan sampai dipercaya -yang ini agak aneh- mengisi kuliah ba'da shubuh, dll. Intinya, bila saya memimpikan untuk menggapai puncak, maka mereka yang mengajari dan menuntun saya tentang cara untuk menggapai puncak itu adalah orang-orang yang mengesankan.
"Menjadi guru adalah pilihan hidup, bukan profesi."
Beberapa bagian yang mengesankan bersama mereka adalah saat mereka memperlihatkan keputusan-keputusan yang aneh, karena tidak logis menurut saya. Wa Adud yang merupakan guru olahraga senior di SMP pernah ditawari untuk mengajar kelas 3, namun beliau menolak. Padahal kata guru olahraga kelas 3, mengajar kelas 3 itu yang paling enak ketimbang mengajar kelas 1 atau 2. Demikian pula dengan Pa Supri yang selain mengajar Bahasa Indonesia, juga merangkap sebagai ustadz saat hari Jum'at. Pa Supri pernah bilang, "Kalian jangan mau jadi guru. Susah hidupnya." Tapi anehnya beliau malah bekerja melebihi tugasnya sebagai guru di sekolah. Sederhana saja, guru itu dibayar untuk mengajar di kelas. Sedangkan untuk menjadi khatib saat jum'atan, tidak ada bayarannya. Bahkan terkadang mereka merogoh kocek untuk menjajani kami muridnya. Uyuhan, dadaekanan.
Beberapa tahun setelahnya, seringkali saya melamunkan hal-hal itu. Memikirkan kenapa mereka melakukan pekerjaan melebihi tugasnya. Pekerjaan-pekerjaan yang bahkan mereka sudah tahu bahwa mereka takkan dibayar untuk itu, yang ada malah lebih lelah dan susah. Sudah penghasilan mereka kecil, tetap saja kadang mentraktir muridnya.
Sampai saat ini, saya masih berpikir bahwa dalam profesi ada ukuran beban kerja. Misalnya profesi apoteker, ada ukuran beban kerja yang mesti dijalankan saat bekerja. Bila dalam 1 hari bekerja dari jam 8 hingga jam 5, maka saat itulah dia menjalankan profesinya sebagai apoteker. Berbeda dengan guru yang punya tugas kemanusiaan di luar jam kerjanya. Di luar kelas, guru masih dituntut untuk menjadi teladan. Di luar kelas guru masih dipanggil guru. Bahkan setelah pensiun sekalipun, guru masih saja dipanggil guru.
"Sebutan Bu Guru atau Pak Guru bisa berlaku seumur hidup, bahkan pasca hidup."
Bila saya pulang ke kampung, rasanya ganjil untuk memanggil Uwa dengan sebutan "Ceu Guru". Terlebih lagi dengan usia beliau yang sudah sedemikian tuanya, pastilah beliau sudah tak aktif mengajar. Karena memang begitulah yang tampak, beliau selalu ada di rumah dari pagi hingga malam. Namun warga sekitar tetap saja memanggilnya dengan sebutan Ceu Guru. Bahkan setelah meninggal pun, sebutan itu masih melekat. Hanya berbeda sedikit, jadi "Almarhumah Ceu Guru".
Karena saya memandang bahwa jadi guru itu bukanlah persoalan profesi, maka saya pun membenarkan mereka yang kuliah non kependidikan untuk menjadi guru. Lagipula hasrat mengajar bukan hanya dimiliki oleh mahasiswa kependidikan. Di program Indonesia Mengajar yang dicetuskan oleh Anies Baswedan justru kebanyakan pengajarnya adalah mahasiswa ITB. Lulusan ITB dan Unpad pun banyak yang mengajar di bimbel-bimbel. Dan mereka membuktikan bahwa mereka berhasrat dan mampu. Jadi, sejatinya mengajar adalah pilihan hidup, bukan profesi.
10 Rajab 1434
0 comments:
Post a Comment