Ke Tanah Suci #3: Masyarakat Madinah

Setelah menunaikan shalat shubuh, rombongan berpencar. Ada waktu hingga tiba saatnya waktu sarapan pagi jam 6 di hotel. Usai shubuh berjama'ah, daerah sekitar Masjid Nabawi selalu ramai. Itu dikarenakan para PKL yang membuka lapak di halaman dekat masjid. Ada yang menjual pakaian, minyak wangi, kayu siwak, obat suplemen, mainan, dan mushaf. Meski langit masih tampak gelap dan mentari belum cukup terang untuk menyinari aktivitas, hiruk-pikuk sudah terasa.

Penduduk 'Arab sudah familiar dengan orang-orang Indonesia. Banyak alasannya kenapa bisa demikian. Pada tulisan yang ini saya belum akan membahasnya, Insya Allah nanti di bagian 'Mekkah'. Karena kefamiliaran itulah beberapa pedagang sampai ada yang bisa berbahasa Indonesia (tentunya sebatas obrolan seputar perdagangan), bahkan terbilang fasih untuk lisan orang 'Arab. Mereka dapat mengatakan "Seribu", "Ganteng", atau istilah lain yang tidak sesuai dengan kaidah pelafadzan atau pronounciation Bahasa 'Arab. Ini kabar baik bagi orang-orang Indonesia yang hendak melancong ke 'Arab, karena kita takkan begitu kesulitan untuk berkomunikasi untuk belanja. Bahasa 'Arab adalah bahasa internasional. Dapat dibuktikan dari banyaknya negara yang menggunakan bahasa ini sebagai bahasa warganya. Bahkan banyak istilah dalam Bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari Bahasa 'Arab.

Sudah kabar umum, bahwa orang Indonesia ada yang bekerja di 'Arab. Beberapa diantaranya bahkan ada yang menjadi petugas di Masjid Nabawi. Tanpa disengaja, kami dipertemukan dengan petugas yang berasal dari Rangkasbitung, Banten. Tentu saja kami ngobrol dengan menggunakan Bahasa Indonesia, namun saat tahu bahwa kami adalah rombongan dari Bandung, beliau langsung menggunakan Bahasa Sunda. Raoseun pisan tah!

Maaf saya tidak sempat memfotonya. Karena membawa kamera ke masjid adalah hal yang tabu di Masjid Nabawi. Foto memfoto di masjid adalah hal yang tidak etis. Kita bisa ditegur oleh orang 'Arab (padahal sekedar mau shalat) supaya tidak memfoto aktivitas di sana, contohnya kuliah.

Begitu usai shalat shubuh, kita akan menemukan kuliah kecil di beberapa sudut. Bentuknya seperti diskusi kecil, dengan seorang siswa yang bergiliran menyampaikan hasil belajarnya (seperti berceramah) di hadapan syaikh, kemudian syaikh pun menyimak dan meluruskan bila ada yang salah atau kurang tepat. Beberapa jama'ah lain yang bukan mahasiswa biasanya turut memperhatikan perkuliahan tersebut.

Pejalan kaki dihormati
Meski kota Madinah tidak semodern Bandung, kehidupan sosial di Madinah terbilang lebih nyaman. Di kota rasul tersebut, pejalan kaki lebih dihargai. Kendaraan-kendaraan tidak ngebut dan tidak memaksakan diri untuk terus melaju saat ada yang menyebrang. Ini jelas berbeda dengan di Bandung yang -terutama- motornya suka ngebut dan memaksakan untuk terus melaju hingga membunyikan klakson bila ada yang mau menyebrang sebagai pertanda "Minggir! jangan menghalangi." Meski lebih tradisional, etika masih dijunjung tinggi di Madinah, terutama di ruang publik. Demikianlah salah satu warisan kerasulan Muhammad saw. pada masyarakat Madinah. Dalam Bahasa 'Arab, istilah etika berarti adab. Seperti adab makan, adab berjalan, adab berbicara, dll. Jadi, tingginya suatu peradaban sebenarnya ditentukan oleh etika suatu masyarakat. Karena hal ini pula, Madinah dikenal sebagai pusat peradaban Islam.

Malam lebih ramai
Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Di Madinah, warga setempat lebih sering menghabiskan malam dengan aktivitas di luar rumah, terutama di halaman Masjid Nabawi. Dilihat dengan mata telanjang, pemandangan Masjid Nabawi saat malam memang lebih indah. Selain itu, udaranya pun lebih sejuk. Terutama bagi kita orang Indonesia yang tak terbiasa dengan udara panas, berkeliling saat malam menjadi pilihan. Saat pagi, keadaannya menjadi sangat berbeda, alias sepi.

Suasana malam di halaman Masjid Nabawi

Hormati dan muliakan jama'ah masjid
Bila mau lebih peka terhadap keadaan, selalu saja ada perasaan diistimewakan saat berada di dalam Masjid. Mulai dari AC di sekitar tiang pemancang, payung-payung besar otomatis, hingga air zam-zam gratis. Bahkan kita bisa mengisi botol kosong dengan air zam-zam (silahkan saja bila tak malu). Hal tersebut memang sudah diprogramkan oleh pemerintah, terutama urusan masjid (kalau di Indonesia mah, DKM-nya lah), untuk mengistimewakan para tamu Allah dan rasul. Bagian belakang Masjid Nabawi dulunya adalah rumah Rasulullah, dan halaman dari rumah hingga mihrab dinamakan raudhah. Jadi, yang jelas (lagi-lagi, bila kita mau lebih sensitif) saat kita sedang ke Masjid Nabawi, itu sama saja dengan dijamu di rumahnya Rasulullah. Beruntunglah kita yang pernah ke sana.

Lumrahnya poligami
Bagian yang ini mungkin agak sensitif. Saya sebut mungkin, itu karena tiap orang Indonesia punya tanggapan yang berbeda dengan masalah ini. Contoh: orang-orang ribut mempermasalahkan poligaminya Aa Gym yang menikah untuk kedua kalinya. Namun orang-orang tidak mempermasalahkan Eyang Subur yang istrinya lebih dari 5, padahal Eyang Subur akan mencalonkan diri jadi presiden. Di 'Arab, poligami adalah hal yang sangat lumrah. Saat jalan-jalan di halaman Masjid Nabawi, mudah untuk menemukan mereka yang berpoligami. Di 'Arab lelaki yang sekedar pedagang biasa pun dapat berpoligami, dan para wanita 'Arab tidak berkeberatan untuk dipoligami. Padahal wanita 'Arab itu cantik-cantik, dan punya posisi tawar sangat tinggi di hadapan lelaki bila dibandingkan dengan wanita Indonesia. Namun yang jelas, prasyaratnya (poligami) pun tentu mesti mereka penuhi. Maklum, secara fisik saja poligami tentu mempersyaratkan lebih fit. Untuk mengantar, mengayomi, melindungi, menemani, meladeni. Itu baru urusan fisik. Belum urusan psikologis, dan finansial.

Saat adzan berkumandang
Ini menjadi bagian yang sangat berkesan bagi saya. Begitu suara adzan terdengar, orang-orang dengan segera meninggalkan lapak dan aktivitasnya untuk bergegas ke masjid. Selama adzan terdengar, kita akan melihat orang-orang berhamburan dari berbagai tempat, keluar dari tempat bekerjanya, dan berjalan menuju masjid. Saat-saat seperti ini, jalanan tampak ramai dijejali orang-orang yang hendak shalat berjama'ah di masjid. Jalan yang menjadi akses menuju masjid seperti pasar atau mall, meski tak ada yang berdagang di sana. Tentu saja tak ada yang berdagang, karena pedagangnya pun turut meninggalkan lapak untuk bergegas ke masjid. Bila Anda menghampiri yang berdagang untuk belanja, Anda malah akan diminta untuk shalat terlebih dahulu lalu kembali lagi nanti ke lapak.

Suasana siang, sebelum adzan

Itu hanya beberapa hal yang memperlihatkan adanya perbedaan budaya orang Indonesia dengan 'Arab. Ingat! Berbeda budaya, bukan berbeda agama. Meski berbeda budaya, kita masih shalat, kita masih diajarkan untuk beretika.

9 Rajab 1434

0 comments:

Post a Comment