Keluarga Dibangun oleh Cinta

"Pak Dokter, jadi berapa ntuk semua pemeriksaan ini?"
"Ah, kayak ke orang lain aja. Masih keluarga ini kok."
"Jadi?" Tanyanya bingung.
"Udah, nggak usah!"

Malam itu, setelah pulang dari pemeriksaan kandungan istrinya (kakak ipar saya), kakak saya masih bingung dengan yang dikatakan oleh dokter setelah pemeriksaan. Ibu yang mendengarkan cerita dari kakak dan mengenal si dokter pun hanya bisa mengiyakan. Karena memang begitulah Pak Dokter. Bila itu yang diinginkan oleh Pak Dokter, ibu menurut saja.


"Kalau emang dia maunya gitu, ya ikutin aja lah. Mungkin dia udah nganggap sebagai anak sendiri. Jadi kalau nanti periksa lagi ke sana, kasih bingkisan aja." Begitulah pesan ibu. Ah, memang ada seni dalam memberi.

Ibu yang mengiyakan maksud baik dari Pak Dokter pun akhirnya bercerita tentang sosok dokter yang memeriksa kandungan kakak ipar. Puluhan tahun silam saat Ua masih kuliah (kedokteran) di Rancabadak, teman-teman kuliahnya suka mampir ke rumah untuk belajar bareng. Rumah keluarga kita letaknya di Jalan Sejahtera, dekat dari RS. Rancabadak. Karena itulah teman-temannya Ua sering singgah untuk sekedar mampir istirahat atau belajar bareng, bahkan tidak jarang sampai menginap.

Setiap mereka datang, Aki atau Enin pasti menyuruh anak-anaknya untuk membuatkan makanan untuk mereka. Aki dan Enin punya 3 anak perempuan dari 8 bersaudara, dan ibu adalah anak perempuan paling tua. Mau tak mau, ibu menjadi anak yang paling sibuk memasak untuk membantu Enin memberi makan mereka.

Makanan ringan untuk di luar jam makan, nasi untuk jam makan, dan kopi untuk jam begadang. Tidak jarang juga mereka datang saat penghuni lagi jam tidur, alias datang untuk numpang begadang mulai sekitar jam 9 malam. Wayahna, malam harus bangun untuk menyiapkan kopi panas dan makanan. Baik makanan berat maupun cemilan.

Hampir setiap hari begitu. Entah seberapa sibuk dan seberapa besar pengeluaran keluarga untuk menyambut teman-teman Ua. Tapi bagaimanapun juga, itu adalah keputusan keluarga. Tepatnya keputusan Aki juga Enin. Entah apa yang ada dalam benak Aki dan Enin saat itu.

Tanpa banyak berpikir, jalankan saja. Bila itu baik dan sanggup untuk dilakukan, lakukan saja. Saya sih berpikir demikian, entah bagaimana dengan Ibu, Aki, dan Enin.

Puluhan tahun semenjak masa-masa itu, ibu kerap merasa tak enak hati bila harus ke dokter untuk berobat. Tidak enak karena dokternya selalu menolak ongkos berobat, alias kalau berobat selalu digratiskan. Badan tidak sehat adalah keadaan darurat yang harus segera diantisipasi, itulah sebabnya dokter yang langsung dihubungi adalah dokter yang dikenal. Yang kenyataannya dokter-dokter itu ternyata adalah teman-teman Ua yang pernah 'diasuh' oleh Aki dan Enin. Saat ibu hendak memberikan ongkos berobat, mereka kerap menolak dengan alasan karena sudah menganggap sebagai keluarga. Belasan tahun setelah bapak dan ibu biasa mengantar anak-anaknya ini ke dokter, kakak mengalami hal yang sama.

Ibu melanjutkan ceritanya. Dari sekian banyak teman kuliahnya Ua, dokter yang memeriksa kandungan kakak ipar dikabarkan tidak mempunyai anak. Jadi mungkin saat menyadari bahwa kakak dan ipar adalah cucunya Aki dan Enin, beliau menganggap kakak dan ipar sebagai anaknya sendiri.


"Ada kebaikan di atas kebaikan."

Dulu Aki dan Enin melakukan sesuatu untuk mereka, kini mereka melakukan sesuatu untuk kami. Mereka menerima kebaikan dari Aki dan Enin, kini kami yang menerima kebaikan dari mereka. Mereka hampir semuanya bilang, "...udah dianggap keluarga." Rasa-rasanya kebaikan Aki dan Enin-lah yang membuat mereka tergerak untuk melakukan hal yang serupa. Aki dan Enin menganggap mereka sebagai keluarga, kini mereka menganggap kami sebagai keluarga. Seolah-olah ada kebaikan dari Aki dan Enin yang sampai pada kami -cucunya- melalui orang lain.

Seperti air yang mengalir dan memiliki siklus. Kebaikannya Aki ternyata bisa sampai pada cucunya meski ajal telah memisahkan. Aki dan Enin meninggal tahun 90-an, dan kakak merasakan kebaikannya secara tidak langsung melalui Pak Dokter. Kebaikan yang diberikan oleh keluarga kami saat dulu, pada akhirnya kembali lagi pada keluarga kami.

Kata tetua, hidup itu pengulangan episode. Dulu Aki dan Enin menganggap dan memperlakukan mereka yang tidak ada pertalian darah sebagai anak-anaknya. Episode itu terulang, mereka menganggap kakak dan ipar sebagai anak-anaknya.

Saya pun mengalami hal yang serupa. Dulu saat masih sekolah, saya menganggap seorang senior sebagai kakak saya sendiri. Itu karena mereka menjadi sosok yang baik bagi kami adik-adiknya. Kini, saya pun dianggap sebagai kakak oleh beberapa orang. Kelak bila keumuran, mungkin ada orang yang saya anggap sebagai anak sendiri.


"Keluarga dibangun oleh cinta, bukan oleh hubungan darah" (Jenderal Lee).

Kehangatan keluarga (film Gu Family Book)

Di dunia ini, banyak orang tua yang menjual atau bahkan membuang keturunannya sendiri. Dan sebaliknya, banyak orang yang dianggap sebagai anak, adik, kakak, ibu, atau ayah sekedar karena perasaan semata.

8 Ramadhan 1434

0 comments:

Post a Comment