Berapapun lamanya Pratama aktif di kegiatan masjid, yang jelas itu cukup untuk membuat kami menjadi lumayan akrab sebagai bagian dari remaja masjid dan warga. Sebagaimana umumnya pertemanan yang dijalin dengan akrab, adalah sebuah hal yang biasa untuk saling mengenal latar belakang masing-masing. Seperti tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan aktivitas lain di luar sekolah.
Setelah 2 tahunan mengenalnya di komplek rumah dan menjadi guru mengajinya, saya baru tahu bahwa dia adalah putra pertama dari sekretaris Brotherhood, sebuah perkumpulan pengendara motor gede. Kaget bukan kepalang, dan selanjutnya sesuai perkiraan. Di rumah Tama (panggilannya Pratama) ada sebuah Harley Davidson berwarna hitam terparkir apik.
Walaupun Tama adalah seorang anak yang bandel, saya bisa memahami kebandelannya. Ya itu karena menurut saya kebandelannya masih wajar sebagaimana anak-anak sekolahan pada umumnya. Tetapi tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah anak dari seorang pentolan komunitas riders yang sama terkenalnya dengan Brigez atau XTC. Tapi yang jelas, kalau mau diadu, saya masih berani bilang Brotherhood bisa mengalahkan Brigez dan XTC. Terlebih lagi bila duel perorangan.
Tama juga pernah cerita bahwa ayahnya itu pernah diangkat menjadi ketua keamanan di RW. Bahkan setelah lengser jabatan dari ketua keamanan, para petugas keamanan kadang meminta bantuan Bang Ben -panggilan beliau- bila ada kasus warga kemalingan. Dengan cara seperti itu, beliau biasanya mengontak para anggota Brotherhood untuk berpencar mencari info tentang si buron.
Idul Adha 1432 saya berkesempatan bertemu langsung dengannya saat mengurus pendataan sapi qurban. Saya dan beberapa teman sesama remaja masjid terkejut dengan tampangnya yang ternyata lebih garang dibanding cerita-cerita tentang perkumpulan riders-nya. Sosok dengan perawakan tinggi kekar dan wajah berkumis itu tampak tengah mengobrol dengan Pak Ketua DKM, jadi kami bisa melihatnya dengan cukup jelas. Merinding juga melihatnya. Dengan tampang begitu, pantas saja beliau menjadi pentolan Brotherhood.
Namun itu cerita sebagai seorang pentolan riders. Cerita sebagai salah seorang warga di komplek rumah kami berbeda lagi. Di komplek, Bang Ben lebih memperlihatkan diri sebagai warga biasa yang berirausaha membuka rental mobil dan bisnisan warung makan. Bahkan saat Bang Ben datang ke masjid dengan membawa anak bungsunya yang masih kecil, yang tampak justru kesan seorang ayah yang membawa anaknya untuk belajar menyaksikan pengurusan qurban. Ya, memang di antara warga, yang mengetahui latar belakang beliau sebagai pentolan riders adalah kami remaja masjid dan para petugas keamanan.
Pernah suatu ketika saya bertemu Bang Ben saat mengendarai Davidsonnya. Namun itu pun jarang, dan selebihnya saya lebih sering menemukannya mengendarai motor matic dengan setelan rumahan. Dengan setelan pakaian rumahan dan motor matic begitu siapa yang akan menyangka ada sosok garang di balik penampilannya itu?
Pepatah bilang "Don't judge book by its cover!" Ada benarnya juga bila mengingat sosok Bang Ben. Persepsi terhadap beliau sebagai pentolan riders seolah luntur saat berhadapan langsung dengannya sebagai seorang warga biasa di sebuah perumahan. Ya, saat beliau datang ke masjid justru yang terkesan adalah keinginan orang tua yang berusaha agar anaknya menjadi shaleh. Saya kira itu yang menjadi alasan Bang Ben menitipkan anaknya setiap sore di TPA. Kebetulan saya kenal dengan guru TPA-nya. Bahkan bila ada Pesantren Kilat, saya ikut mengasuh anaknya.
Kesan seramnya semakin luntur bila tahu bahwa putra bungsunya Bang Ben adalah teman bermainnya cucu Pak Ketua DKM. Kebetulan saya sering menemukan mereka sedang bermain petak umpet, main bola, atau main layangan. Semakin terkesan bahwa Bang Ben sama saja dengan Pak Ketua DKM.
Terakhir kali saya melihatnya justru malah mencengangkan. Bang Ben terlihat mendatangi sebuah kios mebel kecil di pinggir jalan, lalu turun dari motor matic-nya untuk berbincang dengan pemilik kios. Yang membuat saya berkesan melihatnya adalah wajah ramah beliau saat mengunjungi kios tersebut dan senyum saat menanyakan meja pesanan pada si pemilik kios.
Siang itu, tidak pernah terpikirkan bahwa seorang riders yang terkenal garang menjadi sosok ramah yang murah senyum kepada warga biasa. Sosok bersahabat yang ditampilkannya sangat berseberangan dengan citra perkumpulan pengendara motor yang terkenal begajulan.
Ya, siapa yang tahu isi hati seseorang selain Allah dan orangnya? Saat Tama menanyakan biasanya guru ngaji dibayar berapa, Tama juga menceritakan ayahnya mendesak supaya saya 'dibayar' sebagai guru ngaji si putra sulung. Ternyata riders pun berusaha menghargai saya yang menjadi guru ngaji panggilan.
Siapa sangka bahwa sosok ramah itu adalah seorang tokoh riders yang disegani berandalan? Dan saya sebagai seorang guru ngaji seharusnya bisa lebih ramah dari beliau.
Bandung, 9 Syawal 1434
0 comments:
Post a Comment