Teringat jelas, rasa-rasanya hampir tak ada waktu luang saat berada di rumah. Jadi, rumah seakan hanya tempat istirahat, makan, mandi, mengerjakan tugas kuliah, dan buang hajat. Selebihnya, segera terpikir kerjaan panitia dan berangkat untuk menggarap urusan P3R.
Pola hidup yang sama tetap berlaku bila ada teman yang mampir ke rumah, entah itu mampir sebentar atau lama. Setidaknya salah seorang karib saya, Edy jelas-jelas pernah merasakan pengalaman itu. Akhirnya saya yang mengerti keadaannya yang sedang butuh komputer pun membiarkan dia untuk 'menetap' di kamar dalam rangka numpang mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.
Slogan "Rumahku Rumahmu Juga" sepertinya berlaku untuk persahabatan kami. Mau ngetik, setel musik, nyalain radio, ngeprint, makan, ngopi, atau bahkan menginap, silahkan saja! Dan kenyataannya hal itu memang terjadi, seolah-olah dia sudah menjadi bagian dari rumah.
Bila dekat dengan penjual parfum, pasti kena juga harumnya.
Pepatah itu ternyata berlaku dalam kelanjutan episode tadi. Karena saya punya kesibukan sebagai komandan P3R, Edy pun kena getahnya. Ya, dia mau tidak mau terbawa sibuk di aktivitas P3R. Entah itu adalah resiko persahabatan, entah rezeki saya yang mendapatkan rekan baru di kepanitiaan, entah apa. Yang jelas saya beruntung dan harus mensyukurinya. Sedangkan bagi Edy, (tak tahu persisnya) saya perkenalkan dia sebagai sosok baru bagi komunitas pemuda di RW. Itu artinya saya perkenalkan dia pada orang-orang yang ada di RW 'saya'. Ujung-ujungnya, Edy pun seolah-olah menjadi bagian dari P3R.
Ya, menjadi bagian dari P3R. Bukan sekedar diperkenalkan pada rekan-rekan di kepanitiaan, tetapi juga ikut aktif dan bekerja layaknya panitia. Sebenarnya saya tak bermaksud membuatnya sibuk dan susah dengan membawanya ke masjid sebagai bagian dari P3R, tetapi begitulah sunatullah, dengan sendirinya membuat Edy terbawa susah.
Siapapun yang dekat ternyata bisa kena getahnya. Meski sebenarnya Edy datang ke rumah sebagai tamu, tapi dia tetap kena getahnya, yaitu terbawa sibuk dan susah di kepanitiaan P3R.
Beberapa episode lain pun berpesan begitu. Pernah di suatu hari, saat saya mendorong mobil, Hafiz bilang "Wah, bilang dong! Kita dorong bareng-bareng." Padahal dia sebenarnya adalah penumpang di mobil yang saya setiri. Demikian pula saat saya datang dalam jamuan buka bareng di rumah Satrio. Meski datang sebagai tamu, malah saya ikut membereskan meja, piring, gelas, dan sisa makanan.
Seenak apapun saya merasakan kebaikan orang dekat, tetap saja akan terbawa susah bila dia dalam keadaan susah. Seperti halnya yang terjadi pada Edy, Anggi, dan Satrio. Begitu juga sebaliknya, ada saatnya mereka yang terbawa susah karena kehidupan saya. Kiranya karena itulah minimal tiap tahun saya harus minta maaf pada mereka melalui kata-kata "Maaf lahir batin!"
Begitulah hidup dalam kebersamaan.
Catatan kaki:
Itulah sebabnya, saya kadang merasa 'gimana gitu' dengan mereka yang bilang "Saya tidak mau diajak hidup susah!" Karena toh ternyata orang-orang di dekat sosok sekaliber Habibie atau Fadel Mohammad pun merasakan episode susahnya, padahal mereka adalah sosok terpandang. Beruntunglah kedua sosok tersebut dikaruniai teman-teman yang tegar dalam setiap episode sulit ketokohannya.
Masing mobilna Mercedes, angger we kabawa rarieut tur harese.
20 Dzulqaidah 1434
0 comments:
Post a Comment