Menempuh perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum pada jam-jam padat tersebut ternyata menghadirkan cerita yang berbeda dengan pada jam-jam senggang. Salah satunya adalah pengalaman sesaknya angkot oleh penumpang, bahkan tidak jarang sopir angkot memaksakan penumpang baru meski di dalam sudah penuh.
Bila angkot sudah penuh, tidak ada lagi ruang sisa yang bisa diduduki, di mana penumpang baru akan duduk? Kiranya itu yang dipikirkan oleh para penumpang. Ada yang celingak-celinguk mencari celah untuk bisa mempersilahkan duduk, ada juga yang bertanya-tanya "Mau di mana lagi? Udah penuh!"
Keadaan ini sempat saya alami. Saat angkot sudah penuh, bila penumpang baru dipaksakan untuk masuk, pastinya akan berdesakan dan itu membuat penumpang lainnya merasa tidak nyaman.
Di sebuah ruas jalan, angkot yang saya tumpangi dan sudah penuh ini berhenti sejenak untuk menerima penumpang baru yang seorang anak SD. Ya, hanya seorang anak kecil yang hendak berangkat ke sekolah.
Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa kebanyakan sopir senior adalah orang-orang peduli pada nasib anak-anak sekolahan. Mereka kerap tidak tega pada anak sekolahan yang tidak mendapatkan tumpangan sementara tidak lama lagi jam belajar sekolah dimulai. Sebagai penumpang yang rutin ngangkot saat masih sekolah, saya bisa mengerti keadaan yang darurat ini. Saya mengerti bila pak sopir menerima penumpang baru tersebut. Setidaknya meski si anak harus berdiri selama perjalanan, dia tidak akan terlambat masuk sekolah.
Pertanyaannya, saat anak ini sudah naik dan angkot pun mulai jalan, dia akan duduk di mana? Si cilik pun tampak kebingungan mencari tempat, begitu juga dengan beberapa penumpang. Hingga akhirnya seorang lelaki paruh baya yang menyadari hal ini memberikan pangkuannya untuk si bocah. Ah, syukur lah.
Saya bergumam, siapalah lelaki paruh baya ini bagi si cilik? Dan sebaliknya, siapa pula si cilik ini bagi si lelaki paruh baya? Mereka bertemu di luar rencana dan di luar dugaan, tetapi si lelaki paruh baya bersedia memberikan pangkuannya untuk si cilik. Bocah mana yang tidak senang bila akhirnya mendapatkan tempat duduk? Meski sekedar tempat duduk 'darurat' di angkot.
Entah kenapa saya jadi berpikir tentang sebuah kata: 'menyintai'. Sebuah istilah yang berbeda dengan 'perasaan cinta'. Bila saya yang berada di posisi lelaki paruh baya tersebut, kiranya saya pun mau melakukan hal yang sama. Memberi pangkuan duduk pada si bocah, meski tak ada perasaan apa-apa. Ya, sekedar peduli padanya.
Meski bocah tersebut bukan anaknya, ternyata tidak menghalangi niat baik lelaki itu untuk memberikan pangkuannya sebagai tempat duduk.
Ternyata, tanpa perasaan cinta pun, bukan berarti tidak bisa menyintai. Bersikap menyamankan tidak harus selalu karena cinta. Seperti halnya lelaki itu memberikan pangkuannya untuk duduk si cilik, seperti halnya mengelus-elus kepala kucing, memberi makan kucing, mengalah pada nenek yang tidak mendapat tempat duduk di bus, dll. Ya, setidaknya karena Islam itu rahmatan lil 'alamin.
10 Dzulqaidah 1434
0 comments:
Post a Comment