Kalau diingat-ingat, seringkali si pengendara motor adalah orang yang tidak dikenal. Itulah kenapa cara memanggilnya adalah dengan sebutan "Aa" atau "Kang". Karena bila kenal, biasanya akan langsung sebut nama. "Ucu", "Teten", atau apa lah. Contoh: "Cu, standarna tah!". Namun meski tidak mengenal, bukan berarti tidak peduli dengan keselamatan si pengendara.
Segera setelah diingatkan, si pengendara motor pun memposisikan standarnya dan pergi begitu saja. Yah, biasanya memang begitu. Mengingatkan dan mencegah terjadinya kecelakaan bukan berarti dihargai. Cukuplah Allah yang menghargai, dan setidaknya si pengendara motor tidak celaka di hadapan kami.
"Standar, Kang!" Itu hanya sebuah kalimat yang amat pendek, dan mudah untuk diucapkan. Kalimat yang singkat, tapi -Insya Allah- bisa menyelamatkan si pengendara. Kalimat yang mudah, tapi bisa berbuah kebaikan. Hanya begitu, dan saya pikir setiap orang yang baligh pun bisa melakukannya.
Ah, kebaikan itu memang sederhana. Sesederhana kita meminggirkan kerikil dari jalan, menyingkirkan duri dari lantai, mentraktir teman, menengok yang sakit, atau menghibur yang lagi bersedih.
Bila saat SMA saja saya menyanggupi untuk presentasi sepenggal sejarah Indonesia, kenapa untuk hal baik sesederhana dan semudah itu saja tak bisa?
22 Syawal 1434
*) Entah dari mana asalnya istilah "Standar" untuk motor ini. Mungkin yang dimaksud adalah "Stander". Stand artinya berdiri, jadi stander artinya penyangga untuk berdiri. Namun karena "Standar" lebih mudah diucapkan dan menjadi kebiasaan, jadilah orang-orang menyebutnya Standar Motor.
0 comments:
Post a Comment