Pada kesempatan tersebut, penceramahnya adalah Ustadz Yasin Muthahhar yang saat itu diamanati peran sebagai sekretaris MUI Banten. Awalnya saya berpikir bahwa beliau adalah seorang yang sudah cukup tua seumuran kakek-kakek. Karena kebanyakan yang saya tahu, petinggi MUI adalah mereka yang bukan sekedar faqih keilmuannya, tapi juga sangat berumur.
Ya, sebagaimana sebutan syaikh di Timur Tengah. Istilah 'syaikh' sebenarnya berarti 'kakek', dan seorang ulama disebut syaikh karena kearifannya dalam menjawab persoalan-persoalan hidup. Kebanyakan ulama yang bijak tersebut adalah mereka yang sudah sangat berumur.
Anggapan tersebut pudar saat mobil yang menjemput penceramah sudah datang ke masjid. Saya yang hendak menjemput pun terkejut saat ada seseorang yang tidak dikenal turun dari mobil jemputan, lalu dia membuka gerbang yang saat itu masih tertutup. Setelah mendorong pintu gerbang hingga cukup lebar untuk masuk mobil, dia pun segera berjalan ke masjid dan menghampiri kami para panitia. "Assalamu'alaykum!" begitu dia menyapa sambil mengajak bersalaman.
Saya bergumam, siapa ini?
Tanpa banyak berpikir, saya segera mengalihkan pandangan pada mobil jemputan. Yang terlihat hanya seseorang yang saya kenal turun dari sudut kabin bagian penyetir. Tidak ada orang lagi yang turun dari mobil tersebut. Itu berarti, orang yang tadi membuka gerbang itulah penceramahnya.
Sadar akan hal ini, saya pun segera ke ruang utama untuk segera membuka acara.
Pintu gerbang masjid
Ternyata setelah pengajian usai rasa terkejut itu masih saja membekas dalam benak. Malam itu, tidak ada satu pun dari kami (panitia) yang menyangka bahwa beliau adalah sekretaris MUI Banten yang diundang sebagai penceramah.
Bila disebut malu, kami memang malu atas tindakan beliau. Sebagai penceramah, beliau adalah tamu yang seharusnya dimuliakan oleh tuan rumah. Bukan hanya itu, sebagai tamu yang datang jauh-jauh dari Banten, mestinya kami yang bisa mengerti bahwa beliau pasti lelah karena perjalanan jauh, dan seharusnya kami yang membukakan pintu gerbang. Bahkan kata si penjemput, "Tadi saya jemput beliau di Terminal Leuwi Panjang. Beliau kan datangnya pakai bus."
Namun beliau tampaknya tidak melihat itu. Dengan bersemangat dan tanpa sungkan, beliau malah turun dari mobil dan membukakan pintu gerbang. Seolah-olah penceramah dan sopir adalah sahabat yang bermitra dan saling membantu untuk urusan kebaikan.
Bila dipikir-pikir, memang begitulah tokoh sejati dalam Islam. Seperti halnya beliau. Dari segi penampilan, serupa saja dengan kami. Mengenakan kemeja atau baju koko, dan bawahannya mengenakan celana atau sarung. Hanya itu. Kalaupun ada yang membedakan, rasanya itu adalah aura keulamaan yang menjadi cerminan kemuliaan akhlaqnya.
Ke manapun saya mencari tokoh sejati Islam, ternyata hasilnya serupa. Penampilannya sederhana tak berbeda dengan orang lain. Bahkan di Timur Tengah pun begitu. Pakaian seorang imam Masjidil Haram serupa dengan pakaian umumnya pria di Jazirah 'Arab, dan tidak ada atribut yang membedakan antara imam dengan makmum.
Melalui orang-orang seperti mereka, terasa jelas bahwa imam besar tampak sama dengan makmum biasa, terasa jelas bahwa penceramah sebenarnya sama dengan mustami. Ya, sama-sama hamba Allah, sama-sama mencari keridhaan-Nya. Melalui orang-orang seperti mereka pula, terasa jelas bahwa berilmu bukan berarti sombong. Justru ilmu membuat mereka menjadi semakin merendah, membumi, dan merakyat.
Bayangkan saja! Sekretaris MUI datang ke Bandung dengan bis umum (bukan travel), lalu turun dari mobil jemputan untuk membukakan pintu gerbang.
Saya masih memandang bahwa posisi sekretaris MUI Banten itu adalah jabatan strategis yang tinggi dan terhormat, (bahkan) melebihi jabatan di pemda, kantoran, atau organisasi manapun. Meski begitu, beliau tidak petantang-petenteng membelagu seperti kebanyakan orang yang bila diposisikan dalam jabatan lagaknya saja sudah seperti bos yang ingin dihormati.
Kelak bila ditempatkan pada posisi yang sedemikian terhormatnya, apakah saya bisa merendah dan membumi seperti beliau?
Akhir Syawal 1434
0 comments:
Post a Comment