Sebagaimana umumnya para jamaah dari Indonesia yang hendak berangkat ke sana, selalu ada persiapan. Mulai dari persiapan ruhiyah, fisik, ilmu, dan bekal lainnya. Tetapi dari segala macam persiapan itu, rasa-rasanya ada satu persiapan yang paling saya tekuni: do'a.
Saya berani bilang bahwa do'a adalah bagian yang paling saya siapkan sebelum menginjakkan kaki di tempat-tempat yang paling mustajab sedunia itu. Dan demikianlah yang terjadi di tanah suci, bagian yang paling saya seriusi adalah berdo'a.
Sangat jelas teringat dan terngiang-ngiang sepanjang langkah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, ada sebuah do'a yang selalu terpikir. Rabbi zidni ilman naafian wa rizqan thayyiban wa 'amalan mutaqabbalan. Ya Rabb, berikanlah saya ilmu-ilmu yang bermanfaat, rezeki-rezeki yang baik, dan amal-amal yang diterima.
Sejak sampai di Madinah dan pertama kali melihat Masjid Nabawi, do'a tadi menjadi do'a yang paling diingat untuk dipanjatkan. Jadi itu pula yang paling terpikir. Mungkin itu karena niat saya saat hendak berangkat ke sana, yaitu: menambah ilmu. Selain do'a-do'a yang terus-menerus dipanjatkan, saya pun berusaha untuk mendapatkan pelajaran-pelajaran hidup baru di sana. Yang jelas, pelajaran yang bermanfaat.
Ternyata setelah pulang dari tanah suci, do'a tadi menjadi do'a yang paling terngiang. Terutama setelah shalat. Alhasil, ilmu yang bermanfaat seolah-olah menjadi harta karun yang saya buru selama di dunia ini.
Do'a tadi bukan sebatas ucapan, karena kenyataannya mengarahkan pikiran saya pada sebuah jalur untuk menelusuri manfaat dari ilmu yang saya pelajari. Apapun yang saya dapatkan di kelas, apapun yang saya dapatkan dari baca buku, sebisa mungkin bisa dimanfaatkan di kehidupan nyata. Seperti saat SD belajar elektronika, setidaknya berguna bila lampu rumah mati dan saya harus mengganti bohlam. Sesederhana itu, tapi sebisa mungkin bermanfaat.
Kemanfaatan itu pula yang saya cari saat setahun terakhir ini menggarap tugas akhir. Saya ingin mengerjakan penelitian yang benar-benar bermanfaat dan praktis, bukan sekedar menulis sebuah paper ilmiah. Melelahkan, dan tentu saja memusingkan. Namun ternyata ada sisi lain yang tidak bisa saya hindari dampaknya: harapan masyarakat.
Saya yang penelitiannya mengangkat tema Aspek Psikologi dalam Sepak Bola pun ternyata malah ditanya ini-itu oleh pelatih-pelatih yang menjadi konsultan dalam studi pra-penelitian. Belum berhenti sampai di situ, mereka juga meminta hasil temuan dari studi pra-penelitian saya berupa berbagai macam aspek psikologis pemain dalam kompetisi sepak bola. Bahkan bila penelitiannya sudah selesai, mereka mau meminta hasil penelitian dan meminta saya menjadi konsultannya. Ada lagi yang lebih, beberapa menyarankan saya untuk ikut kursus kepelatihan. Jadi, ketika ilmu yang saya pelajari sudah terlihat manfaatnya, mereka mulai berharap akan ilmu tersebut bisa segera diaplikasikan. Dalam hal ini, ilmu psikologi yang saya tekuni bisa segera diaplikasikan dalam kepelatihan dan pembinaan pemain muda.
Sejujurnya, saya sempat merasa ketakutan bila menyadari harapan mereka yang semikian besarnya. Terlebih lagi permasalahan yang tengah melanda persepakbolaan Indonesia saat ini kebanyakannya adalah masalah mental. Itu sesuai dengan penelitian saya.
Apakah saya siap menghadapi harapan mereka? Sementara saya sendiri merasa dari segi keilmuan belum cukup mapan untuk meladeni ekspektasi publik dalam pengembangan psikologi di dunia sepak bola.
Sempat terpikir, hidup saya kok gini-gini amat. Tapi mungkin memang itulah jawaban dari do'a saya selama ini. Saya harus siap menerima bila suatu saat do'a saya dikabulkan. Seperti bila melempar batu ke pohon demi pengharapan agar buahnya kena dan jatuh, saya harus siaga untuk menangkap buahnya.
Cari ilmu yang bermanfaat. Hehehe... (pict from here)
Aaahh.. saya harus belajar lebih giat dan tekun lagi.
27 Dzulqaidah 1434
0 comments:
Post a Comment