Awalnya saya tidak pernah memperhatikan beliau. Terang saja tidak pernah saya perhatikan, karena Mbak Nisa kelas 3 sedangkan saya kelas 1. Tetapi dari sekian banyak kakak kelas yang ada di sekolah, wajahnya Mbak Nisa agak familiar karena kelasnya bertempat sama persis di ruangan yang sama dengan kelas saya. Saat kelasnya Mbak Nisa bubaran pulang, kelasnya saya masuk untuk belajar di ruangan yang sama.
Selain itu, ada lagi sih. Saya kadang bertemu dengannya di masjid saat hendak shalat zhuhur, sebelum semua kelas 1 masuk kelas untuk mulai jam pelajaran. Selebihnya, selama saya menjalani keseharian sebagai siswa kelas 1 SMA, tidak ada cerita apa-apa tentang saya dengannya. Karena toh kami memang tidak mempunyai hubungan apa-apa, bahkan kenal pun tidak.
Terkesan biasa-biasa saja, sebagaimana kebanyakan siswa pada umumnya. Tidak ada yang mengesankan, tidak ada yang terasa istimewa. Hingga akhirnya pada sebuah siang saya menemukannya sedang berada di depan teras masjid sekolah.
Sebenarnya belum terlalu siang, baru sekitar jam 9-an. Karena kelas 3 sudah selesai Ujian Akhir Nasional (UAN), seluruh kelas 1 pun jadi sekolah pagi. Saya -yang sedang membawa setumpuk buku tugas ke ruang guru- secara tidak sengaja menemukan Mbak Nisa yang tengah sendirian di dekat masjid.
Sambil memegang sebuah sapu, Mbak Nisa tampak sedang menyapu halaman luar yang tampak berantakan karena guguran daun-daun kering yang berserakan. Saya terpaku melihatnya yang sedang begitu. Oh, Mbak Nisa. Mau-maunya Mbak begituan.
Bukan karena parasnya, juga bukan karena beliau lelaki atau perempuan. Melainkan karena saya sadar bahwa Mbak Nisa adalah seorang siswi yang akan segera menjadi alumni. Bukan sekedar kelas 3, tetapi sekiranya beliau adalah seseorang dari sebuah ekskul di sekolah, tentu statusnya pun sudah purnawirawati. Alias sudah sejak lama pensiun atau selesai masa jabatan.
Sebagai seseorang yang sebelumnya pernah berorganisasi, saya tahu betul bahwa apa yang dilakukan Mbak Nisa bukanlah tanggung jawabnya. Sepertinya Mbak Nisa pun sadar bahwa dirinya bukan lagi pengurus di DKM sekolahnya. Tetapi, ini yang membuat saya tertegun, seolah tiada halangan bagi Mbak Nisa untuk menyapu halaman luar masjid sekolah.
Tiada raut kesal, tiada raut sedih, tiada raut ketus, tiada kata-kata terucap dari mulutnya. Sedikit pun tidak tampak wajah dongkol, bahkan beliau tampak segar berseri seolah tiada beban dalam hidupnya. Entah apa yang membuatnya begitu, karena saya pribadi masih berpikir untuk sekedar kerjakan yang 'wajib' saja. Maksudnya, bila saya tak harus mengerjakannya, saya tak akan mengerjakannya. Jadi bila saya tidak merasa bahwa kebersihan di halaman masjid itu adalah tanggung jawab saya, maka saya takkan menyapu di sana.
Saat digenggam Mbak Nisa, sapu itu seolah berkata: "Dek, kebersihan itu bukan program kerja DKM, tetapi sebagian dari iman." Bagaimana dengan saya? Ah, mungkin seharusnya menggetok kepala ini yang masih suka bikin banyak alasan untuk tidak peduli. Ya, karena sepertinya yang dilakukannya itu bukanlah tentang kewajiban anggota organisasi, tetapi tentang kepedulian dan kecintaan terhadap rumah-Nya.
Gambar diedit ti dieu
Siang itu pun, masjid sekolah kami seolah menjadi saksi ketulusan hati Mbak Nisa. Semoga masjid kami itu menjadi suci, sesuci hati orang-orang yang tulus mensucikannya.
2 Dzulhijjah 1434
0 comments:
Post a Comment