Saya yang turut mengikuti shalat maghrib berjama'ah pun berdiam sejenak di luar untuk menunggu seorang teman yang juga mengikuti shalat berjama'ah kloter pertama. Sambil menunggu, biasanya sambil menyalami mereka yang pamit pulang duluan. Beberapa diantaranya bahkan ada yang mengajak untuk singgah ke rumahnya. Kebiasaan orang Sunda tah.
Salah satu yang menyalami saya saat hendak pulang adalah Pak RT. Beliau bertanya perihal aktivitas pemuda di RW kami.
"Ini, pemudanya pada ke mana? Kok jarang kelihatan."
"Wah nggak tahu tuh, Pak."
"Waduh, nggak bagus ini. Ya sudah, kira-kira kita harus ngadain apa supaya pemuda di RW kita ini bisa ngumpul?"
"Adakan pertandingan olah raga, Pak."
"Nah itu, bagus itu. Kita harus bisa mengumpulkan mereka supaya RW kita ini hidup kepemudaannya."
"Iya, Pak..."
"Nah, kita segera bikin kegiatan aja."
"Pak, di sini saya bukan ketua Karang Taruna atau organisasi apapun. Jadi saya nggak bisa."
Entah apa yang ada dalam benak Pak RT hingga beliau mengutarakan pendapatnya pada saya. Saya mengerti apa maksudnya, dan bisa memahami keinginannya. Tetapi masalahnya adalah saya bukan orang yang tepat untuk menjadi tempatnya mengadukan aspirasi. Di RW saya ada beberapa organisasi, dan di semua organisasi itu saya bukan pimpinannya.
Dilihat dari aspirasinya, beliau tampak bersemangat untuk membangun kepemudaan di RW kami. Bisa dimaklumi, itu karena pemuda di RW kami seperti tidak ada, karena mereka kurang partisipatif dalam kegiatan-kegiatan di tingkat RW. Lagipula, Karang Taruna di RW kami memang sudah lama tidak aktif.
Saya sendiri hanya seorang pemuda yang biasa terlihat ikut shalat berjama'ah di masjid, dan ikut aktif untuk membantu program-program DKM. Jadi, sekali lagi, penting untuk ditegaskan bahwa saya bukan ketua. Saya bukan orang yang punya wewenang untuk banyak melakukan ini-itu, karena ada etika hidup dan organisasi yang mau saya jalankan.
Jadi, kiranya beliau mau mengadukan aspirasi. Baiknya memang pada orang yang tepat. Dalam hal ini, orang yang tepat itu adalah ketua Karang Taruna. Andai Karang Taruna-nya masih pasif, berarti perlu dibentuk kembali dan dipilih pemimpinnya. Nah, kalau sudah begitu, barulah ajukan aspirasi pada beliau.
Baiknya, jangan karena saya adalah pemuda yang sering nongol di masjid, mengadukan aspirasinya pada saya. Atau siapapun itu. Jangan karena orang itu sering terlihat di masjid dan aktif dalam berbagai kegiatan RW, dia begitu saja dijadikan tempat mengadukan aspirasi. Padahal, dia belum tentu orang yang punya wewenang untuk itu.
Kebingungan?
Semoga orang lain pun tidak sampai mengalami nasib yang serupa. Dan bila saya mau mengajukan aspirasi pun, baiknya melalui jalur yang semestinya.
***
Sebenarnya saya pernah mengalami hal yang serupa dengan Pak RT. Saat singgah di almamater SD, tampak ada keganjilan yang menyiratkan ada korupsi di dalamnya. Pedagang batagor yang sudah berpuluh tahun dagang di depan SD pun bercerita tentang keganjilan di sana, terutama dana pembangunan. Intinya, kami menduga ada praktik korupsi di sana.
Tetapi masalahnya, saya harus melaporkan dugaan ini ke mana? Sementara KPK tidak terjangkau (terhubungi) oleh orang-orang seperti saya. DPRD? Tidak ada orang DPRD yang saya kenal dan dapat saya hubungi. Maka, bingunglah mau ke mana menyampaikan aspirasi.
Mungkin hal semacam ini yang Pak RT alami. Semoga itikad baik Pak RT menemukan jalannya untuk mencapai tujuan.
19 Dzulhijjah 1434
0 comments:
Post a Comment