Menangisi Kehilangan

Sebagai pemuda yang aktif di masjid dekat rumah, salah satu aktivitas yang cukup familiar adalah mengurus jenazah. Begitu terdengar kabar bahwa ada salah seorang warga yang meninggal, kami langsung mencari tahu siapa dan di mana kediamannya, kemudian segera mendatangi kediamannya untuk mempersiapkan segala keperluan pengurusan jenazah. Mulai dari menyiapkan area pemandian, air, papan pemandian, dan tempat pengkafanan.

Setelah jenazah tiba, tim pengurusan jenazah mulai bekerja. Mulai dari pengukuran kain kafan, mempersiapkan kapas, memandikan, hingga mengkafani. Sebenarnya, dalam keorganisasian masjid sudah ada tim yang khusus untuk menangani kepengurusan jenazah. Namun beberapa tahun belakangan ini beberapa dari mereka sudah uzur dan sangat berusia, sehingga membutuhkan pengganti dari kalangan pemuda. Salah satu yang dipilih dari kalangan pemuda adalah saya, itu karena sangat jarang pemuda yang mau aktif di RW. Bukan karena saya adalah pilihan terbaik.

Pertama kali terlibat secara penuh dalam pengurusan jenazah, rasanya cukup menguras tenaga. Jenazah ternyata sangat berat untuk diangkat, bahkan dilakukan oleh empat orang sekalipun. Ada bagian yang ringan, ada juga bagian yang berat. Bagian yang paling ringan adalah kepala, dan bagian yang paling beratnya adalah antara bahu hingga pinggang. Sangat dimaklumi apabila seorang satpam saja sampai lemas dan menghela nafas panjang begitu beres memandikan jenazah. Pantas saja pemuda dibutuhkan, dan itu membuat saya merasa perlu untuk hadir dan terlibat lagi apabila ada kabar duka di RW.

Entah sudah berapa kali saya ikut terlibat dalam aktivitas seperti ini. Tidak terhitung banyaknya, meski ada saat-saat pengurus jenazah jumlahnya sudah cukup, sehingga saya tidak begitu aktif terlibat. Saat tidak begitu terlibat, saya biasanya hanya sedikit membantu tim pengurus dan memperhatikan keadaan di rumah kediaman keluarga jenazah.

Namanya juga berita duka, selalu ada keluarga yang menangis atas kepergian. Selain keluarga, ada juga beberapa orang dekat yang menangis ditinggal almarhum/almarhumah. Beberapa diantaranya ada yang sambil bercerita "Dulu beliau tuh...". Terdengarlah kisah-kisah tentang betapa berartinya sosok yang telah pergi itu bagi mereka.

Di luar peran sebagai kepengurusan jenazah, saya juga sering melihat orang-orang yang menangis karena ditinggal. Entah itu di RW sebelah, kerabatnya teman, atau melihat rombongan pengantar jenazah yang lewat di pinggir jalan. Beberapa diantaranya membuat saya heran bukan kepalang saat mereka bercerita tentang betapa berartinya sosok yang telah pergi itu, padahal saat masih hidup tidak jarang terdengar kabar pertengkaran. Sampai ada yang menyinggung, "Maneh teh ka mana wae atuh? Ari keur aya diantepkeun, ari geus euweuh maneh ceurik."

Demi dia yang telah pergi (pict: google)

Ada orang-orang yang menangisi kehilangan, tetapi mereka lupa -bahkan enggan- menghargai kehadiran. Setelah ditinggal, jadi terpuruk, nangis, sedih. Saat masih ada, malah memperlakukan layaknya orang yang tidak berarti.

Sebenarnya, kehilangan tidak melulu berarti ditinggal wafat. Ada juga yang berpisah jarak serta tiada lagi saling sapa dan ngobrol. Dulu, saya punya tetangga yang biasa disebut keluarga Abdurahman. Mereka adalah keluarga tempat saya (saat masih kecil) sering dititipkan untuk diasuh, dan sayangnya saya tidak sempat menghargai keberadaan mereka, karena saat saya SMP mereka pindah ke Jakarta. Sejak itu tidak ada lagi kabar tentang mereka.

Menyadari hal ini, saya sempat ingin menegur diri sendiri: dulu saya ke mana saja? Bukannya melakukan sesuatu demi keluarga Abdurahman. Setidaknya saat dulu kami masih tetanggaan, ada lah sesuatu yang saya lakukan. Memberi bingkisan, berbagi masakan yang ada di dapur, atau sekedar menyapa dengan begitu sumringah saat kami berjumpa.

27 Safar 1435

3 comments: