Ke Tanah Suci #10: Imam Masjid

Dahulu kala, ada seorang anak yang sangat bandel, hingga ibunnya tak kuasa lagi menahan amarah karena kebandelannya tersebut. Karena marah, sang ibu pun menyuruhnya pergi. "Pergilah. Jadilah imam di Haramain!" Puluhan tahun kemudian, anak itu menjadi ketua imam di Haramain. Kini orang-orang di dunia mengenal suara khas dari lelaki bernama: 'Abdurrahman as-Sudais.

'Abdurrahman as-Sudais

Imam-imam masjid di Timur Tengah (terutama masjid besar) adalah orang-orang pilihan yang benar-benar tidak sembarangan. Mereka adalah para hafizh yang sangat faqih, dan akhlaq-nya “dijamin” mulia. Disebut begitu karena perilaku sehari-hari menjadi salah satu kriteria penilaian dalam pemilihan imam masjid. Jadi, hanya orang-orang yang baik akhlaq-nya dan istiqamah dengan kebaikan tersebutlah yang berpeluang untuk dipilih menjadi imam. Hal ini penting, karena kelak sebagai figur, akhlaq imam akan merepresentasikan ajaran Islam dan menjadi penegas mana yang benar dan salah.

Dari jutaan masjid yang ada di dunia, Masjid Nabawi dan Masjidil Haram adalah 2 masjid yang paling utama. Logisnya para imam kedua masjid ini pastinya adalah imam-imam terbaik sejagat raya. Menurut logisnya manusia sih begitu, tapi wallahua’lam. Jadi, bila berkesempatan untuk shalat berjama’ah di sana, maka akan mengalami bagaimana rasanya diimami oleh imam-imam paling utama di dunia.

Apa keunikannya? Bila sekedar ingin menunaikan shalat berjama’ah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, rasanya tidak jauh berbeda dengan shalat-shalat berjama’ah di masjid-masjid Indonesia.

Para imam adalah orang-orang yang hafal 30 juz, namun saat mengimami surah-surah pilihan mereka justru diambil dari juz 30 atau 29. Memang benar bahwa ada anjuran untuk memilih bacaan yang tidak relatif lama setelah al-Fatihah, jadi sah-sah saja bila imam memilih ‘potongan’ surat al-Baqarah. Namun hal itu sangat jarang terjadi. Justru surah semacam Adh-Dhuha, Asy-Syams, dan At-Tiin menjadi beberapa yang favorit.

Ada sedikit pengecualian. Ayat-ayat yang panjang agak banyak menjadi pilihan imam-imam Masjid Nabawi. Hal ini bisa dimengerti karena ayat-ayat madaniyah yang panjang banyak berisi sejarah, kisah, dan ibrah. Maka, shalat berjama’ah di Masjid Nabawi ibarat kuliah bagi para mahasiswa di Madinah. Bahkan setelah shalat (terutama ba’da shubuh), biasanya ada kuliah di dalam masjid. Meski begitu, tetap saja surah-surah pendek menjadi pilihan favorit. Surah yang dipilih dalam shalat bisa juga berfungsi untuk ulasan materi kuliah bagi mahasiswa di Madinah.

Tasmi surah panjang memang akan terkesan keren, namun itu tidak dilakukan para imam. Seolah-olah para ma’mum tak perlu mendengarkan dan mengetahui hafalan imam di luar juz 30 dan 29.

Pelajaran pertama bagi saya: hafalan qur’an bukan untuk dipertontonkan atau ditunjukkan, tapi untuk dijadikan tuntunan hidup sehari-hari. Hafalan 30 juz bukanlah berita yang perlu perlu diketahui oleh orang-orang, terlihat dari sebutan-sebutan para syaikh yang tidak menyertakan titel al-hafizh.

Berbeda dengan di Indonesia yang sangat melihat titel hafizh. Budaya di ‘Arab lebih melihat bagaimana akhlaq mulia diamalkan ketimbang jumlah hafalan. Di sana, tabu untuk bertanya “Berapa banyak hafalan Qur’an-mu?” untuk urusan sehari-hari. Tapi kalau untuk urusan kuliah bidang syari’ah, itu tidak aneh. Seperti kisah wartawan yang melempari Bush dengan sepatu saat presiden AS itu berpidato. Masyarakat ‘Arab berbondong-bondong mengapresiasi tindakan si wartawan, bahkan ada yang sampai menawarkan putrinya untuk dinikahi. Orang tuanya menuturkan bahwa adalah sebuah kehormatan bila putrinya menikah dengan sang wartawan. Di jazirah ‘Arab yang lebih dilihat adalah sisi akhlaq yang merupakan ekspresi dari pemahaman al-Qur’an.

Sudais memimpin shalat

Keunikan lainnya adalah pakaian yang dikenakan oleh para imam masjid. Saat mengimami, kita bisa melihat siapa yang menjadi imam karena posisinya. Tapi selesai shalat, kita tidak akan tahu mana yang imam, mana yang pengurus masjid, dan mana yang jama’ah biasa. Itu karena pakaiannya yang sangat biasa, tidak tampak istimewa. Berbeda dengan pemuka agama lain, seperti Paus, Biksu utama, dll.

Yusuf Mansyur (kiri) bersama Ghamidi (kanan)

Pelajaran kedua: imam shalat dan ma'mum sejatinya adalah sama. Berdiri di lantai yang sama, dengan pakaian yang relatif sama murahnya. Ketika sang imam mendadak sakit atau terjatuh, harus ada salah satu ma'mum yang menggantikannya.

13 Rajab 1434


0 comments:

Post a Comment