Ke Tanah Suci #9: Keseharian di Mekkah

Sebagai pendatang yang berumrah, pola hidup di Mekkah jelas terasa berbeda dengan di Indonesia. Di Madinah dan Mekkah, kami seolah sangat tahu waktu untuk shalat fardhu. Bukan hanya karena kebiasaan masyarakat yang mendadak ramai berjalan menuju masjid 1 jam sebelum adzan, tetapi juga -salah satunya- karena ada program televisi khusus murattal yang juga berfungsi sebagai timer persiapan adzan.

Orang Indonesia biasanya menjadwalkan berangkat ke Masjidil Haram supaya bisa mendapat tempat yang teduh, terutama saat siang. Pada hari-hari biasa, mungkin teriknya matahari masih bisa ditolerir. Tetapi untuk hari Jumat, orang Indonesia biasanya memilih berangkat jam 10. Bahkan jam 10 pun biasanya di dalam masjid sudah penuh oleh jamaah yang siap-siap shalat jumat.

Bagi masyarakat Arab, shalat adalah hal yang sangat utama. Mereka tidak sungkan untuk menutup warungnya apabila adzan berkumandang, bahkan meminta pengunjung warung untuk shalat terlebih dahulu. Seolah-olah tidak ada ketakutan kehilangan laba penjualan demi menyambut sapaan-Nya. Indonesia? Ah, kiranya kita bisa menyimpulkan sendiri.

Ada juga hal lain yang bisa membingungkan orang Indonesia, yaitu tentang penggunaan istilah "Haram-Halal". Di Arab, istilah haram digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sifatnya tidak diperbolehkan (haram), seperti tidak boleh shalat di lantai yang baru diperbaiki, masuk ke ruang khusus petugas, merusak ketertiban, dsb. Jadi istilah haram tidak melulu tentang hal-hal yang dilarang secara syar'iyah. Bisa jadi petugas (askar) mengatakan "Haram" pada pendatang yang shalat di area jalan masuk-keluar karena dapat mengganggu ketertiban pejalan yang jumlahnya berjibun. Intinya, jangan beribadah mahdhah dengan cara yang mengorbankan hak orang lain.

Ah, untuk yang satu ini saya tiba-tiba jadi teringat keadaan di Indonesia. Banyak "terduga" koruptor yang berangkat haji atau umrah, beribadah mahdhah dengan cara menggunakan uang rakyat.

Orang Indonesia bisa dibilang sebagai jamaah umrah terbanyak. Bukan tanpa alasan. Orang-orang Indonesia sudah sangat terkenal sebagai orang-orang yang mudah tertib, ramah, dan baik-baik. Para pedagang di Saudi sangat suka pada orang Indonesia, bukan karena gemar belanja, tetapi orang Indonesia pasti membeli dan belanja bukan hanya untuk dirinya sendiri. Orang Indonesia juga berbelanja untuk para kerabatnya di tanah air. Berbeda dengan orang  Malaysia yang katanya lebih menyusahkan. Minta dibawakan yang ini itu, tetapi akhirnya sering tidak jadi beli. Kalaupun beli, hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang Indonesia akan mencari sendiri, melihat sendiri, tawar menawar, lalu jadi beli.

Hal ini benar adanya. Suatu malam, saya berjumpa dengan seorang petugas kebersihan Masjidil Haram yang sedang duduk beristirahat di kursi dekat tangga. Seorang lelaki baya yang gemuk, janggutnya beruban, tetapi berwajah teduh. Dia tengah memperhatikan jamaah yang berjalan-jalan di lantai 3. Saat saya hendak turun melalui tangga, dia melambaikan telapak tangannya. Menyapa.

"Malaysia, Indonesia?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Indonesia." Jawab saya sambil membalas senyumnya.

Hanya perjumpaan sesaat, tetapi saya merasakan keramahan orang 'Arab. Berbeda sekali dengan kabar yang sering saya dengar bahwa orang 'Arab itu besar dan perangainya keras seperti preman.

Kulinernya? Insya Allah halal, meski tidak tercantum label halal. Ada berbagai macam kuliner yang tersaji. Mulai dari es krim, jus, kebab, hingga makanan khas timur tengah. Orang Indonesia tidak perlu khawatir dengan cita rasa timur tengah, karena bumbunya tidak seberagam di tanah air. Jadi cukup aman untuk perut. Hanya saja porsinya lebih besar, sekitar 3x standar Indonesia. Khusus untuk jus, saya sulit untuk menyebutnya sebagai minuman, karena sangat kental, sekental sambal di Indonesia.

Gedung, di bawahnya berjejer kios.

Saudi adalah negeri saudagar, sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah berdagang. Kebanyakan gedung-gedung didesain untuk kebutuhan berdagang. Tingkat paling bawah biasanya digunakan sebagai kios-kios dagang.

Terakhir, di Mekkah ada banyak burung yang bebas seperti di kota-kota Eropa. Bagi penduduk itu adalah hal yang biasa, tetapi bagi orang Indonesia seperti saya, rasanya beda. Itu karena di Indonesia burung-burung biasanya ditangkap untuk dijual. Oh ya, tidak seperti di Jabal Rahmah, di sini tidak dipungut biaya untuk berfoto bersama burung-burung ini.

Bersama burung-burung

12 Jumadil Ula 1435

Sekuel sebelumnya:
Ke Tanah Suci #8: Tur Sekitar Mekkah
Ke Tanah Suci #7: Mekkah
Ke Tanah Suci #6: Menuju Mekkah

6 comments: