Ke Tanah Suci #6: Menuju Mekkah

Mekkah adalah sebuah kota yang berbeda dengan kota-kota suci lainnya. Hal ini dikarenakan ada Kabah di dalam Kota Mekkah, sehingga siapapun yang hendak ke Mekkah terkena kewajiban ihram. Bila berangkat dari Madinah, ihram ditandai dengan keberangkatan dari Masjid Bir Ali sebagai titik awal perjalanan ihram.

Bir Ali, para jama'ah tengah bersiap ihram

Di Masjid Bir Ali, atau sebelumnya, para jama'ah umrah biasanya sudah bersiap-siap dengan pakaian ihram (yang berwarna serba putih tea geningan, khusus untuk laki-laki pakaiannya berupa hanya 2 helai kain ihram). Setelah ke Masjid Bir Ali, jama'ah bisa dikatakan sah mulai berihram, dan segala kewajiban serta larangan dalam ihram sepenuhnya berlaku. Talbiyah mulai dilafadzkan. Labbaik allahumma labbaik...

Kewajiban dan larangan dalam ihram biasanya sudah dijelaskan di buku panduan umrah atau saat manasik. Begitu juga penjelasan tentang tebusan yang harus dilakukan apabila melanggar. Sesederhana itu, dan tidak perlu dihafalkan. Bila masih belum mengerti, selama perjalanan ada pemandu yang dapat menjelaskan dan membimbing ihram. Seingat saya, ihram adalah bagian yang paling penting dalam keseluruhan ibadah umrah.

Perjalanan dari Madinah ke Mekkah ditempuh melalui jalur darat selama sekitar 6 jam, tanpa macet. Perihal shalat wajib, masing-masing pribadi sebaiknya sudah mengerti harus bagaimana. Jamak apabila perlu menjamak, dan qashar apabila perlu mengqashar.

Transit untuk makan.

Rombongan kami tiba di Mekkah sekitar jam 8 malam. Bus langsung membawa kami menuju penginapan untuk check in dan membereskan semua barang bawaan, sekalian sejenak beristirahat dan urusan hajat (bila perlu). Perlu diingat, dalam perjalanan dan ibadah yang hitungannya berjam-jam seperti ini, urusan hajat adalah hal yang sebaiknya tidak ditawar-tawar. Bila kababayan saat berada di masjid, itu akan sangat merepotkan.

Setelah segala urusan di penginapan selesai, rombongan berjalan kaki ke Masjidil Haram yang jaraknya sekitar 1 km. Jam 9 malam adalah waktu yang cuacanya sangat bersahabat untuk tubuh orang Indonesia, karena udaranya tidak begitu panas. Suhu udara malam di Mekkah kira-kira sama dengan suhu Bandung menjelang maghrib (saat cerah).

Sejenak sebelum masuk ke Masjidil Haram, rombongan berkumpul di depan gerbang King Abdul Aziz (Babul Malik 'Abdul 'Aziz), sebuah pintu masuk yang bisa dibilang paling besar di antara pintu-pintu masuk lain ke al-Haram. Sengaja berkumpul terlebih dahulu, hal ini dilakukan untuk menjadikan gerbang tersebut sebagai titik patokan dalam berkeliaran di al-Haram (sebutan Masjidil Haram, kadang juga disebut Haramain). Bukan berlebihan, tetapi banyak kasus orang tersesat di sekitar al-Haram.

Penting untuk dimengerti, bahwa di dalam al-Haram ada kabah yang menjadi qiblat bagi seluruh shalat. Sehingga dari manapun orang masuk Masjidil Haram, arahnya akan ke tengah masjid. Di tempat ini tidak ada bagian depan atau belakang masjid.

Ah, akhirnya kesampaian juga ke tempat yang istimewa ini. Baru beberapa meter masuk ke dalam, bangunan Kabah sudah terlihat. Bergemuruhlah hati ini menatapnya, serasa tegang, dan sekujur tubuh pun terasa kaku. Menurut terjemahan kedua mata saya, cahaya di dalam masjid terasa agak redup kekuning-kuningan begitu, tetapi Kabah yang ditutupi oleh kain berwarna hitam seolah tampak terang memantulkan cahaya.

Kabah dengan pusaran manusianya

Saya lagi-lagi menangis. Serasa masih belum percaya si anak badung ini bisa sampai ke Masjidil Haram* dan bertatapan langsung dengan Kabah. Ada perasaan yang sangat berbeda saat berada di dekatnya dan langsung menatapnya. Seperti menggapai sebuah puncak kebahagiaan.

28 Muharram 1435

*) Masjid istimewa yang satu ini dinamakan al-Haram karena memang ada beberapa hal yang terlarang (haram), sebagaimana ibadah ihram, ada beberapa hal yang diharamkan hingga tahalul (halal).

Sekuel sebelumnya:
Ke Tanah Suci #5: Akhir di Madinah
Ke Tanah Suci #4: Raudhah
Ke Tanah Suci #3: Masyarakat Madinah

0 comments:

Post a Comment