Ke Tanah Suci #4: Raudhah

Salah satu sisi lain dari Masjid Nabawi adalah kisah-kisah unik yang mencengangkan dari orang-orang yang pernah mengunjungi masjid nabi ini. Ternyata ada saja kisah-kisah yang tidak terduga, bahkan di luar akal manusia. Di Masjid Nabawi, orang bengal sekalipun bahkan bisa menangis seperti anak kecil. Saya yang sebenarnya tak begitu tahan shalat berlama-lama, kenyataannya di masjid nabi ini bisa berjam-jam berada di dalam untuk sekedar shalat dan berdo'a. Setiap harinya, jama'ah umrah bisa datang ke masjid sekitar jam 1 dan pulang sekitar jam setengah 6.

Salah satu tempat teristimewa di Masjid Nabawi adalah sebuah area yang disebut "Raudhah". Raudhah adalah area antara rumah Rasulullah saw dengan mihrab (tempat imam memimpin shalat). Raudhah merupakan sebuah jarak perjalanan yang ditempuh Rasulullah dari rumah manakala beliau hendak shalat berjama'ah, dan selama perjalanan singkat itulah beliau selalu berdo'a. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa salah satu saat mustajabnya do'a adalah antara adzan dan iqamah. Berarti, logis ya bila dikisahkan raudhah merupakan tempat di mana Rasulullah berdo'a, dan karena itu pula area beralaskan karpet hijau tersebut menjadi tempat yang istimewa untuk berdo'a.

Raudhah (dokumentasi pemerintah 'Arab)

Ciri-ciri area raudhah adalah karpetnya yang berwarna hijau. Pengelola Masjid Nabawi sudah secara khusus membedakan karpet yang digunakan. Warna hijau khusus untuk menandai area raudhah, dan warna merah untuk area biasa.

Pemetaan area (raudhah diwarnai hijau)

Salah seorang jama'ah umrah yang datang bersama saya adalah mantan pengawal khusus kepresidenan. Saya tak perlu menebak berapa jumlah harta kekayaannya, karena yang jelas sudah pasti uangnya banyak. Sebagaimana cerita ibunya, beliau pernah membawa uang tunai satu tas (besar), penuh. Jumlah yang cukup untuk dijadikan kasur tidur. Meski penampilannya biasa-biasa saja, kebengalan beliau tetap saja terlihat. Namun saat hendak masuk ke raudhah, terjadi hal yang unik. Askar menegur beliau, "Kamu bisa punya uang banyak. Tapi kalau Rasul tidak mencintaimu, Kamu tak akan sampai ke sini."

Walau saya tidak begitu mengerti bahasa 'Arab, bahasa tubuhnya kira-kira mengisyaratkan demikian. Cukup dengan memperhatikan cara orang 'Arab mengisyaratkan kamu, fulus, dan banyak. Lagipula, bahasa tubuh sifatnya universal. Hebat betul! Bagaimana si Askar tahu bahwa orang itu duitnya banyak? Wallahua'lam. Itu benar-benar terjadi, dan saya hanya tercengang.

Akhir kisah, saya hanya bisa mengakui sebegitu besarnya cinta seorang Rasul kepada ummat Islam. Hingga saya yang gableg begini 'diundang' ke ke rumahnya. Sebegitu kuatnya cinta seorang Rasul kepada ummatnya, hingga saya yang terpisah berabad-abad masih dijamu ke masjidnya.

Sebelum menginjakkan kaki di raudhah, santer terdengar bahwa sulit mendapat tempat berdiri untuk shalat dan memanjatkan do’a di sana. Di pintu masuk raudhah, terlihat orang-orang berbondong-bondong ingin masuk dan segera mendapatkan tempat berdo’a di sana. Benarlah demikian adanya, sulit untuk mendapatkan tempat yang kosong, karena setiap ada tempat yang kosong, tempat tersebut akan diperebutkan oleh banyak orang. Siapa cepat, dia dapat. Saking penuhnya, bahkan berjalan tepat di depan orang yang tengah shalat pun dimaklumi.

Suasana raudhah (karpet hijau)

Saya yang berjalan di raudhah pun akhirnya berpikir tidak mau memaksakan diri untuk berdesak-desakan dengan yang lain. Lagipula untuk apa memaksakan diri demi mendapatkan tempat berdo’a di raudhah, tetapi membuat hamba-Nya yang lain terzhalimi?

Pada sebuah jalur menuju keluar area raudhah, seorang askar menyapa dan mempersilahkan kepada saya untuk mengambil jalur keluar. Askar ini bertubuh gemuk, namun wajahnya ramah, dan lembut. Gaya bahasanya seperti seorang tuan rumah yang mempersilahkan saya untuk masuk bertamu. Maka, saya pun mengambil jalur ke luar area raudhah.

Sambil berjalan di jalur ke luar, saya menengok kanan-kiri, siapa tahu ada yang baru selesai berdo’a. Rupanya tidak ada. Tetapi kabar baiknya, ada sebuah tempat di barisan terdepan karpet hijau yang kosong, dan saya pun tercengang. Ternyata ada yang kosong, dan tidak terisi dari tadi. Apakah tempat yang satu itu adalah tempat untuk saya? Saya yang orang Asia tenggara, bertubuh kecil, tampaknya cukup untuk satu tempat yang agak sempit karena ada sebuah tiang penyangga di sana.

Sulit untuk percaya, dan rasanya hampir tidak percaya. Tetapi itu terjadi. Di manapun kita berada, setiap tamu selalu disediakan tempat oleh tuan rumah. Kiranya itu yang saya rasakan. Ah, ini benar-benar undangan.

Akhirnya, air mata ini jatuh juga di karpet hijau itu.

0 comments:

Post a Comment